Sunday, February 15, 2015

Adab Penuntut ilmu (pencari hadist)

Prolog : Dr. Mahmud Ath-Thahhaan hafidhahullah dalam kitab Taisiru Mushthalahil-Hadiits (hal. 137-138) telah menuliskan satu bab khusus yang berisi adab-adab penuntut/pencari hadits. Dilihat dari isinya, maka ini merupakan adab-adab perlu diperhatikan bagi setiap penuntut ilmu hadits – dan semoga Allah jadikan kita salah satu di antaranya. Dalam rangka menyebarkan faedah, maka di sini akan coba saya tuliskan apa yang terdapat dalam kitab tersebut. Hanya Allah lah segala kebaikan berasal……
Pendahuluan

المراد بآداب الحديث، ما ينبغي أن يتصف به الطالب من الآداب العالية والأخلاق الكريمة التي تناسب شرف العلم الذي يطلبه، وهو حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم. فمن هذه الآداب ما يشترك فيها مع المحدث، ومنها ما ينفرد به عنه.
Yang dimaksud dengan adab-adab penuntut/pencari hadits adalah beberapa sifat yang seharusnya ada pada diri seorang penuntut/pencari hadits, berupa adab-adab yang tinggi dan akhlaq mulia yang sesuai dengan kemuliaan ilmu yang akan ia tuntut – yaitu hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari adab-adab ini, ada yang merupakan adab yang berserikat dengan muhadiits, dan ada pula adab yang khusus bagi penuntut/pencari hadits itu sendiri.
Adab-Adab yang Berserikat dengan Muhaddits
a. [تصحيح النية والإخلاص لله تعالى في طلبه]
Meluruskan niat dan berusaha untuk ikhlash hanya karena Allah ta’ala dalam mencarinya.
b. [الحذر من أن تكون الغاية من طلبه التوصل إلى أغراض الدنيا ، فقد أخرج أبو داود وابن ماجة من حديث أبي هريرة قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : " من تعلم علماً مما يُبْتَغَي به وجهُ الله تعالى ، لا يتعلمه إلا ليصيب به غَرَضاً من الدنيا لم يجد عَرْفَ الجنة يوم القيامة "]
Senantiasa berhati-hati pada tujuannya dalam mencari/menuntut hadits yang bisa membawa pada keinginan duniawi. Abu Daawud dan Ibnu Majah telah meriwayatkan satu hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

“Barangsiapa yang belajar satu ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk wajah Allah ta’ala, namun ia tidak mempelajarinya melainkan karena maksud-maksud duniawi saja; niscaya ia tidak akan memperoleh harumnya bau surga di hari kiamat”.[1]
c. [العمل بما يسمعه من الأحاديث]
Beramal dengan hadits yang ia dengar (ketahui).
Adab-Adab yang Khusus Bagi Penuntut/Pencari Hadits

1) [أن يسأل الله تعالى التوفيق والتسديد والتيسير والإعانة على ضبطه الحديث وفهمه]
Hendaknya ia meminta kepada Allah ta’ala taufiq, kebenaran, kemudahan, dan pertolongan untuk menghafal dan memahami hadits.
2) [أن ينصرف إليه بكليته ، ويفرغ جهد ، في تحصيله]
Memperhatikan hadits secara keseluruhan (komprehensif) dan bersungguh-sungguh untuk meraihnya.
3) [أن يبدأ بالسماع من أرجح شيوخ بلده إسناداً وعلماً وديِناً]
Hendaknya ia mulai dengan mendengar dari guru-guru yang paling utama di negerinya, dalam hal sanad, ilmu, dan pengetahuan agama secara umumnya.

4) [أن يعظم شيخه، ومَنْ يسمع منه ويوقِّره، فذلك من إجلال العلم وأسباب الانتفاع، وأن يتحرَّى رضاه، ويصبر على جفائه لو حصل]
Hendaknya ia mengagungkan dan menghormati gurunya serta orang-orang yang mendengarkan hadits/ilmu darinya. Hal itu merupakan kemuliaan ilmu, sebab-sebab tercapainya manfaat, mencari keridlaannya, dan bersabar atas kekasaran tabiatnya –jika hal itu ada.

5) [أن يرشد زملاءه وإخوانه في الطلب إلى ما ظفر به من فوائد ، ولا يكتمها عنهم ، فان كتمان الفوائد العلمية على الطلبة لُؤْم يقع فيه جهلة الطلبة الوُضَعاء ، لأن الغاية من طلب العلم نشره]
Hendaknya ia memberikan petunjuk/arahan kepada shahabat-shahabat dan saudara-saudaranya dalam rangka memperoleh beberapa faedah, tanpa menyembunyikan apa yang diketahui kepada mereka sedikitpun. Menyembunyikan faedah-faedah ilmiyyah dalam mencari hadits termasuk kehinaan yang bisa menjatuhkannya ke dalam kebodohan, sebab tujuan mencari ilmu adalah untuk menyebarkannya.

6) [ألا يمنعه الحياء أو الكِبْر من السعي في السماع والتحصيل وأخذ العلم ولو ممن دونه في السن أو المنزلة.]
Janganlah rasa malu atau sombong menghalangi dirinya untuk senantiasa mendengar, memperoleh, dan mengambil ilmu meskipun dari orang yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya darinya.

7) [عدم الاقتصار على سماع الحديث وكتابته دون معرفته وفهمه ، فيكون قد أتعب نفسه دون أن يظفر بطائل]
Tidak cepat merasa puas dalam mendengar hadits dan menulis hadits tanpa disertai pengetahuan dan pemahaman yang baik atas hadits itu sendiri. Sudah semestinya ia meletihkan dirinya tanpa kenal waktu.

8) [أن يقدم في السماع والضبط والتفهم الصحيحين ثم سنن أبي داود والترمذي والنسائي ثم السنن الكبرى للبيهقي ثم ما تمس الحاجة إليه من المسانيد والجوامع كمسند أحمد وموطأ مالك، ومن كتب العلل، علل الدارقطني، ومن الأسماء التاريخ الكبير للبخاري والجرح والتعديل لابن أبي حاتم، ومن ضبط الأسماء كتاب ابن ماكولا ومن غريب الحديث النهاية لابن الأثير.]
Dalam hal mendengar, menghapal, dan memahami, hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abi Daawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasaa’iy, dan As-Sunan Al-Kubraa karangan Al-Baihaqiy. Kemudian setelah itu mulai menjamah kitab-kitab Masaanid dan Jawaami’, seperti Musnad Ahmad dan Muwaththa’ Malik. Juga beberapa kitab ‘ilal seperti ‘Ilal Ad-Daaruquthniy; kitab-kitab nama para perawi seperti At-Taarikh Al-Kabiir karya Al-Bukhaariy, Al-Jarh wat-Ta’diil karya Ibnu Abi Haatim, ditambah dengan Kitaab Ibni Makuulaa. Adapun kitab ghariibul hadiits, maka ia adalah An-Nihaayah karya Ibnul-Atsiir.
[Taisiru Mushthalahil-Hadiits karya Dr. Mahmuud Ath-Thahhaan, hal. 137-138; Cet. Thn. 1415].
[1] Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3664, Ibnu Maajah no. 252, Al-Haakim no. 288-289, Ibnu Hibbaan no. 78, Abu Ya’la no. 6373, dan lain-lain.- Abu Al-Jauzaa’

Friday, February 13, 2015

Adab berhubungan dengan orang yang keras kepala

Al-Imam Ar-Raghiib Al-Asfahaaniy rahimahullah pernah memberikan deskripsi tentang bagaimana cara berinteraksi dengan orang yang keras kepala dan orang-orang yang suka mendebat sebagai berikut :

Apabila kamu diuji dengan orang yang suka menghasut, orang yang suka berkelahi, dan orang yang suka menyerang dengan tujuan melawan ulama dan membantah orang awam, sebagaimana hadits Nabi shallallaahualaihi wa sallam yang berbunyi :
مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ جَهَنَّمَ.
Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk melawan ulama’, membantah orang awam, dan mencari perhatian manusia; maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam”.
Sebaiknya kamu berlari menghindarinya seperti kamu menghindar dari singa. Apabila kamu tidak dapat menemukan jalan untuk menghindarinya, maka kalahkanlah penolakannya terhadap kebenaran dengan penolakanmu terhadap kedustaan dengan berpedoman kepada firman Allah ta’ala yang berbunyi :
وَمَكَرْنَا مَكْرًا
“Dan Kami merencanakan makar (pula)” [QS. An-Naml : 50].
وَمَكَرَ اللَّهُ
“Dan Allah membalas tipu daya mereka itu” [QS. Ali-Imraan : 54].
قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ * اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ
Mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok." Allah akan (membalas) olok-olokan mereka” [QS. Al-baqarah : 14-15].

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka” [QS. Ash-Shaff : 5].
Bersikaplah tegas kepadanya ! Janganlah kamu bersikap lunak kepadanya dalam hal menyampaikan hikmah ! Sebaiknya kamu terangkan kepadanya kebenaran yang memang belum merasuk ke hatinya. Rasulullah shallallaahualaihi wa sallam bersabda :

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ.
“Para malaikat itu tidakakan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjingnya”.
Ketahuilah bahwa setiap tanah itu pasti ada tanamannya, setiap bangunan itu pasti ada pondasinya, setiap kepala pasti berhak mendapatkan mahkota, dan setiap tabiat berhak mendapatkan penjelasan.
Dan apabila memang harus menjelaskan sesuatu kepadanya, maka cukuplah bagimu untuk memberikan penjelasan ala kadarnya. Karena ada pepatah yang mengatakan :Sebagaimana daging buah itu diperbolehkan untuk lebah, dan buah tin disediakan untuk makanan ternak” ; maka inti sari hikmah itu sengaja disiapkan bagi orang-orang yang berakal dan kulitnya diberikan kepada binatang ternak. Sebagaimana orang yang hilang daya penciumannya tidak akan mencium harum semerbak, maka binatang keledai pun tidak akan mungkin dapat memahami penjelasan”.
[Adz-Dzari’ah ilaa Makaarimisy-Syari’ah, hal 129].

Wednesday, February 11, 2015

Adab dalam Berdebat

Dalam kitab Al-Faqih wal-Mutafaqqih, Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah mengangkat satu bahasan yang cukup menarik tentang adab dan etika dalam berdebat. Oleh karena itu, sangat penting kiranya jika penjelasan beliau ini dituangkan secara ringkas dalam Blog ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi setiap Pembacanya.
Telah berkata Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah :

ينبغي للمجادلِ، أن يُقَدّم على جدَالهِ تقوى اللهِ تعالى، لقول سبحانه : (فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)، ولقوله : (إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ).
ويُخْلِصُ النِّية في جداله، بأنْ ينبغي به وجه الله تعالى. وليكن قصده في نظره إيضاح الحق، وتثبيته دون المغالبة للخصم.
قال الشافعي : ما كلمتُ أحدًا قط إلا أحببتُ أن يُوفقَ ويسدد ويعانَ، ويكونَ عليه رعايةٌ من اللهِ وحفظٌ، وما كلمتُ أحدًا قط إلا ولم أبالِ بيين اللهُ الحقَّ على لساني أو لسانه.
ويبني أَمْرُهُ على النصيحة لدين الله، وللذي ويُجادله، لأَنَّهُ أخوهُ في الدين، مع أنَّ النصيحةَ واجبةٌ لجميع المسلمين.
“Menjadi satu keharusan bagi orang yang berdebat untuk mengutamakan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dalam perdebatannya,
sebagaimana firman Allah subhaanahu (wa ta’ala) : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16]. Dan juga firman-Nya : “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” [QS. An-Nahl : 128].
Orang yang berdebat harus mengikhlashkan niat dalam perdebatannya tersebut semata-mata hanya mengharap wajah Allah ta’ala. Kemudian tujuan yang ia harapkan adalah untuk menunjukkan dan mengokohkan kebenaran (al-haq), tanpa harus mengalahkan lawan debatnya.
Telah berkata Asy-Syafi’iy : ‘Aku tidak pernah berbicara kepada seorangpun melainkan aku berharap agar ia ditetapkan dan ditolong dalam kebenaran, serta menjadikan pembicaraanku tadi sebagai petunjuk dan bimbingan Allah kepadanya. Dan aku tidaklah peduli – saat berbicara pada seseorang – apakah Allah akan memberikan kebenaran melalui lisanku atau lisan orang lain”.[1]
Dan agar ia melandasi semua tindakannya di atas nasihat kepada agama Allah dan kepada orang yang didebatnya. Tidak lain adalah karena ia merupakan saudaranya seagama, dan juga bahwasannya nasihat itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi seluruh kaum muslimin”.
عن جرير بن عبد الله يقول : ((بايعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم على النَّصِيحةِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ)).
عن زعفراني - يعني : الحسن بن محمد بن الصباح - وأبي الوليد بن أبي الجارود، قال أَحَدُهُمَا : سمعتُ محمد بن إدريس ٰلشافعي، وهو يحلفُ، ويقول : ((ما ناظرتُ أحدًا إلا على النصيحة)). وقال الآخرُ : سمعتُ الشافعي، قال : ((واللهِ، ما نَاظَرْتُ أحدًا فأحببتُ أنْ يخطئَ)).
Dari Jarir bin ‘Abdillah ia berkata : “Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk nasihat kepada seluruh kaum muslimin”.[2]
Dari Za’faraaniy – yaitu Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabbaah – dan Abul-Waliid bin Abil-Jaaruud, salah seorang di antara mereka berkata : Aku telah mendengar Muhammad bin Idriis Asy-Syafi’iy bersumpah, dimana ia berkata : “Tidaklah aku mendebat seseorang kecuali dalam rangka nasihat”. Dan berkata yang lain berkata : Aku telah mendengar Asy-Syafi’iy berkata : “Demi Allah, tidaklah aku mendebat seseorang dengan berharap agar ia jatuh dalam kesalahan”.[3]

ويستشعرُ في مجلسه الوقار، ويستعملُ الهدى، وحسن السمْتِ، وطول الصمت إلا عند الحاجة إلى كلام. وإن بدرت من خصْمَتهِ في جداله كلمةٌ كرهها، أغضى عليها، ولم يُجَازهِ بمثلها، فإن اللهَ تعَلى يقول : (ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ)، وقال تعَلى : (وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا).
“Orang yang berdebat itu juga haruslah mempunyai wibawa, menggunakan petunjuk, berperilaku baik, dan tidak banyak bicara kecuali bila diperlukan. Apabila ia mendapatkan dalam perdebatannya itu kalimat yang tidak menyenangkan dari lawan debatnya, sebaiknya diabaikan dan tidak dibalas dengan kalimat yang semisal. Hal itu dikarenakan Allah ta’ala telah berfirman : “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik” [QS. Al-Mukminuun : 96], dan juga berfirman : “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik” [QS. Al-Furqaan : 63].
عن ابن عباس أن عيينة بن حصن بن حذيفة قال لعمر : هي يا ابن الخطاب، فو اللهِ ما تعطينا الجزل، ولا تحكم بيننا بالعدل فغضب عمر حتى هم به. فقال له الحر بن قيس : يا أمير المؤمنين، إن الله تعالى قال لنبيه : (خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ) وإن هذا من الجاهلين، واللهِ ما جاوزها عمر حين تلاها عليه وكان وقّافًا عند كتاب الله.
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya ‘Uyainah bin Hudzaifah pernah berkata kepada ‘Umar : “Wahai Ibnul-Khaththaab, engkau tidak pernah memberi makanan dan tidak pula menghukumi kami dengan ‘adil”. Mendengar hal itu, maka marahlah ‘Umar hingga ia ingin melakukan sesuatu kepadanya (untuk menghukumnya). Melihat itu, Al-Hurr bin Qais berkata kepada ‘Umar : “Wahai Amirul-Mukminiin, sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman kepada Nabi-Nya : ‘Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh’ [QS. Al-A’raaf : 199]. Dan orang ini termasuk orang-orang yang bodoh”.
Demi Allah, ‘Umar tidak jadi berbuat sesuatu kepadanya ketika membaca ayat tersebut, dan berhenti semata-mata karena Kitabullah.[4]
وينبغي أن لا يتكلم بحضرة من يشهد لخصمه بالزور، أو عند من إذا وُضِحَتْ لديه الحجة دفعها، ولم يتمكن من إقامتها، فإنه لا يقدرُ على نصرة الحق إلا مع الانصاف، وترك التعنّت والاجحاف.
ويكون كلامه يسيرًا جامعًا بليغًا، فإن التحفظَ من الزَّلَلِ مع الاقلال دون الاكثار، وفي الاكثار أيضًا ما يخفي الفائدة، ويُضيعُ المقصود، ويورثُ الحاضرين الملل.
ولا يرفع صوته في كلامه عاليًا، فيشقَّ حلقه ويحمي صدره ويقطعه، وذلك مِن دعاوي الغضب. ولا يخفي صوته إخفاء لا يسمعه [الحاضرون]، فلا يفيد شيئًا، بل يكون مقتصدًا بين ذلك.

“Orang yang berdebat tidak sepantasnya berbicara dengan kata-kata dusta kepada lawan debatnya atau kepada orang yang sangat defens bila kita sampaikan hujjah kepadanya. Tidaklah mungkin kebenaran dapat ditegakkan (dengan cara itu), karena kebenaran tidaklah diraih melainkan dengan keadilan dan meninggalkan kedhaliman serta sikap berlebihan.
Hendaklah ia (orang yang berdebat) menjadikan perkataannya mudah dipahami, ringkas, dan jelas. Sesungguhnya terjaganya dari kesalahan adalah dengan menyedikitkan perkataan, bukan memperbanyaknya. Adapun memperbanyak perkataan dalam debat, itu hanya akan menyembunyikan faedah, menghilangkan maksud, dan mewariskan rasa jemu bagi yang orang menyaksikannya.
Janganlah ia meninggikan suaranya ketika berbicara hingga dapat mencederai tenggorokannya dan memanaskan dadanya lalu terpancinglah emosinya. Namun jangan pula ia merendahkan suaranya hingga tidak dapat terdengar oleh orang-orang yang hadir dan tidak memberikan faedah sedikitpun. Yang seharusnya dilakukan adalah sikap pertengahan antara kedua hal itu”.
ويجب عليه الاصلاح من منطقه، وتجنب اللحن في كلامه والافصاح عن بيانه، فإن ذلك عونٌ له في مناظرته. وينبغي له أن يواظب على مطالعة كتبه عند وحدته، ورياضة نفسه في خلوته، بذكر السؤال والجواب وحكاية الخطأ والصواب، لئلا ينحصر في مجالس النظر إذا رمقتْهُ أبصار من حضر.
ويكون نطقه بعلمٍ، وإنصاته بحلمٍ، ولا يعجل إلى جوابٍ، ولا يهجُمْ على سؤالٍ، ويحفظ لسانه من إطلاقه بما لا يعلمه، ومن مناظرته فيما لا يفهمه فإنه ربما أخرجه ذلك إلى الخجل والانقطاع، فكان فيه نقصه وسقوط منزلته عند من كان ينظر إليه بعين العلم والفضل، ويحزره بالمعرفة والعقل.

“Wajib baginya untuk memperbaiki cara berpikir, menjauhi kesalahan dalam pengucapan, dan berusaha memfasihkan dalam penjelasan. Semuanya itu dapat menolongnya dalam ajang perdebatan yang ia lakukan. Hendaknya ia juga tekun membaca kitab-kitab bermanfaat yang ia miliki ketika sendiri, latihan pendalaman soal-jawab, cerita yang salah dan yang benar; sehingga ia tidak merasa gugup dalam perdebatan saat banyak mata yang hadir tertuju kepadanya.
Jadikanlah bicaranya dengan ilmu dan diamnya dengan kesabaran. Janganlah terburu-buru untuk menjawab dan berambisi menyerang dengan pertanyaan. Juga, menjaga lisan dari apa-apa yang tidak ia ketahui dan dari perdebatan yang tidak ia pahami. Karena hal itu akan dapat menyebabkan rasa malu dan terhentinya pembicaraan/perdebatan. Jika terjadi demikian, maka akan nampaklah kekurangannya dan rendahnya kedudukannya di mata orang yang melihatnya sebagai orang yang berilmu, berpengetahuan, cerdas, dan mempunyai keutamaan”.
[selesai – teringkas dari kitab Al-Faqih wal-Mutafaqqih karya Al-Khathiib Al-Baghdadiy, 2/47-59, Baab Adabil-Jidaal, tahqiq : ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azaaziy; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1, Thn. 1417 H --- dan terinspirasi dari buku Aafaatul-‘Ilmi karya Dr. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id Raslaan hafidhahullah].
[1] Lihat : Aadaabusy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 91.
[2] Sanadnya shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 58, 2714, 2715 dan Muslim no. 56.
[3] Aadaabusy-Syaafi’iy oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 92.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4642 dan 7286.
Catatan : Riwayat ini merupakan riwayat pengganti dari apa yang tertera dalam kitab Al-Faqih wal-Mutafaqqih, karena riwayat yang ada dalam kitab tersebut adalah dla’if karena adanya perawi mubham yang menerima riwayat dari Az-Zuhriy.- Abu Al-Jauzaa’.

Monday, February 9, 2015

Menggapai Berkah dan Pahala Saat Makan

Berkumpul Apabila Makan
Dari Wahsyi bin Harb radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita makan tapi tidak kenyang”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Mungkin saja kalian makan dengan tidak berkumpul?”. Mereka berkata : ”Ya”. Beliau bersabda :

فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكمْ , فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَليهِ, يُبَارَكْ لَكمْ فِيهِ
”Berkumpullah kalian ketika makan, dan sebutlah nama Allah padanya. Maka makanan kalian akan diberkahi” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/138, Kitaabul-Ath’imah, bab : Fil-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1093, Kitaabul-Ath’imah, bab : Al-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam; Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/501; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 7/327, Kitaabul-Ath’imah, Dzikrul-Amri bil-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam Rajaa’al-Barakah fil-Ijtimaa’ ‘Alaih].
Dan di antara yang menunjukkan atas keberkahan dari berkumpul saat makan juga adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Abu Hurairah radliyalaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

طَعَامُ اْلإثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاثَةَ وَطَعَامُ الثَّلاثةِ كَافِي اْلأَرْبَعَةَ
”Makanan dua orang cukup untuk tiga orang, dan makanan tiga orang cukup untuk empat orang” [Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari 6/200, Kitaabul-Ath’imah, bab : Tha’aamul Waahidi Yakfil-Itsnain; dan Shahih Muslim 3/1630, Kitaabul-Asyribah, bab : Fadliilatul-Muwaasaatu fith-Tha’aamil-Qaliil wa anna Tha’aamal-Itsnaini Yakfits-Tsalaatsati wa Nahwa Dzaalika].

Dalam riwayat lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :

طَعَامُ الوَاحِدِ يَكفِي الإثْنَيْنِ, وَطَعَامُ الإثْنَيْنِ يَكفِي اْلأَرْبَعَةَ, وَطَعَامُ اْلأَرْبَعَةِ يَكفِي اْلثََمَانِيَةَ
”Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang, dan makanan empat orang mencukupi delapan orang” [Diriwayatkan dalam Shahih Muslim 3/1630 pada kitab dan bab yang lalu].

An-Nawawi rahimahullah berkata :

في الحديث حث على المواساة في الطعام، وأنه وإن كان قليلا حصلت منه الكفاية المقصودة، ووقعت فيه بركة تعم الحاضرين عليه

”Dalam hadits ini terdapat sebuah anjuran agar saling berbagi dalam makanan. Sesungguhnya walaupun makanan itu sedikit, tetapi akan terasa cukup dan ada keberkahan di dalamnya yang diterima oleh seluruh yang hadir” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim 14/23].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

يؤخذ من هذا الحديث أن الكفاية تنشأ عن بركة الاجتماع على الطعام، وأن الجمع كلما كثر ازدادت البركة
”Diambil dari hadits ini (satu faedah), bahwasannya kecukupan itu akan hadir dari keberkahan berkumpul saat makan; dan bahwasannya semakin banyak anggota yang berkumpul, maka akan semakin bertambah barakahnya” [Fathul-Baari 9/535 dengan sedikit perubahan].

Dengan hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa berkumpul saat makan adalah disukai (istihbaab) dan hendaknya seseorang tidak makan seorang diri” [Fathul-Baari 9/535].

Membaca Bismillah Saat Makan
Telah disebutkan dalam hadits terdahulu : “Berkumpullah kalian ketika makan, dan sebutlah nama Allah padanya. Maka makanan kalian akan diberkahi”. Oleh sebab itu, meninggalkan tasmiyyah (menyebut nama Allah) ketika makan akan menghalangi hadirnya keberkahan padanya. Sehingga syaithan – semoga Allah melindungi kita darinya – ikut makan, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ الشَّيطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ إِلَّا يُذْكَرَ اسْمَ اللهِ عَليهِ
”Sesungguhnya syaithan menghalalkan makanan (yang dimakan oleh manusia yang ia mendapatkan bagian daripadanya), kecuali yang disebutkan nama Allah atasnya” [Diriwayatkan dalam Shahih Muslim 3/1597, Kitaabul-Asyribah, bab : Aadaabuth-Tha’aam wasy-Syaraabi wa Ahkaamuhuma, hadits tersebut mempunyai kisah yang melatarbelakangi].

An-Nawawi rahimahullah berkata :

معنى (يستحل) أي يتمكن من أكله، ومعناه أن يتمكن من أكل الطعام إذا شرع فيه إنسان بغير ذكر الله تعالى، وأما إذا لم يشرع فيه أحد فلا يتمكن، وإن كان جماعة فذكر اسم الله بعضهم دون بعض لم يتمكن منه
“Arti dari menghalalkan yaitu dapat menikmati makanan tersebut. Maksudnya, bahwa syaithan itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang memulainya tanpa dzikir kepada Allah ta’ala. Adapun bila belum ada seseorang yang memulai makan, maka (syaithan) tidak akan dapat memakannya. Jika sekelompok orang makan bersama-sama dan sebagian mereka menyebut nama Allah sedangkan sebagian lainnya tidak, maka syaithan pun tidak akan dapat memakannya” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim 13/189-190].

Dan di antara yang disebutkan oleh An-Nawawi tentang adab-adab tasmiyyah ini dan hukum-hukumnya, yaitu perkataannya :

أجمع العلماء على استحباب التسمية على الطعام في أوله، فإن تركها في أوله عادما أو ناسيا أو مكروها أو عاجزا لعارض الأٓخر، ثم تمكن في أثناء أكله استحب أن يسمي ويقول : بسم الله أوله وأٓخره، كما جاء في الحديث، ويستحب أن يجهر بالتسمية يكون فيه تنبيه لغيره عليها وليقتدى به في ذلك

“Para ulama sepakat bahwa tasmiyah saat awal waktu makan adalah mustahab (sunnah)[1], maka apabila ia meninggalkannya saat di awal makan dengan sengaja maupun tidak sengaja, terpaksa atau tidak mampu karena sebab tertentu, kemudian ia dapat melakukannya pada pertengahan makannya, maka disukai untuk ber-tasmiyyah dan mengucapkan : bismillaahi awwalahu wa aakhirahu (“Dengan menyebut nama Allah di awal dan akhir”), sebagaimana disebutkan dalam hadits. [2] Dan disukai untuk mengeraskan tasmiyyah sehingga ia menjadi satu peringatan pada yang lain agar mencontoh hal tersebut darinya” [Al-Adzkaar, hal. 197, dengan perubahan. Lihat Syarh An-Nawawi li-Shahih Muslim 12/188-189].
Makan dari Pinggir Piring
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اْلبَرَكَةُ تَنْزِلُ فِي وَسَطِ الطَّعَامِ, فَكُلُوا مِنْ حَافِيَتِهِ وَلا تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهِ
”Keberkahan itu akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-pinggirnya dan jangan kamu makan dari tengahnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 4/260, Kitaabul-Ath’imah, bab : Maa Jaa-a fii Karaahiyatil-Akli min Wasathith-Tha’aam, ia berkata : ‘Hadits ini shahih’, dan ini merupakan lafadhnya; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1090, Kitaabul-Ath’imah, bab : An-Nahyu ‘anil-Akli min Dzirwatits-Tsariid; Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/270; Ad-Daarimiy dalam Sunan-nya 2/100, Kitaabul-Ath’imah, bab : An-Nahyu ‘an Akli Wasathits-Tsariid Hattaa Ya’kula Jawaanibahu; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 7/333, Kitaabul-Ath’imah, Dzikrul-Ibtidaa’ fil-Akli min Jawaanibith-Tha’aam. Abu Dawud meriwayatkan dengan lafadh : (إذَا أَكَلَ أَحَدُكمْ طَعَامًا, فَلا يَأْكُلْ مِنْ أَعلَى الصَحْفَةِ, وَلَكنْ لِيَأْكُلْ مِنْ أَسْفَالِهَا, فَإِنَّ اْلبَرَكةَ تَنْزِلُ مِنْ أَعْلاهَا) “Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia makan dari bagian atas piring, tetapi makanlah dari bagian paling bawah darinya, karena keberkahan itu turun dari bagian atasnya”] .
Dan dari ‘Abdullah bin Busr [3] : Bahwasannya didatangkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebuah Qush’ah (piring)[4], lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

كُلُوا مِنْ جَوَانِبِهَا, وَدَعُوا ذِرْوَتَهَا! يُبَارَكْ فِيْهَا
”Makanlah dari pinggirannya dan tingalkanlah (terlebih dahulu) bagian tengahnya [5] (niscaya) akan diberkahi padanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/143, Kitaabul-Ath’imah, bab : Maa Jaa-a fil-Akli min a‘lash-Shahfah - di dalamnya terdapat kisah latar belakangnya. Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1090, Kitaabul-Ath’imah, bab : An-Nahyu ‘anil-Akli min Dzirwatits-Tsariid. As-Suyuthi menilainya hasan - Al-Jamii’ush-Shaghiir 2/96].

Dari dua hadits di atas dan yang semisalnya merupakan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bagi kaum muslimin ketika makan, yaitu agar memulainya dari pinggir-pinggir piring dengan tujuan supaya berkah yang Allah letakkan di tengah makanan tetap ada. Dan hendaknya tidak memulai makan dari tengah piring hingga selesai makan yang di pinggirnya terlebih dahulu. Adab ini bersifat umum, baik bagi yang makan sendiri ataupun yang makan bersama-sama.
Al-Khaththaabiy [6] rahimahullah berkata :
يحتمل أن يكون النهي عن الأكل من أعلى الصحفة إذا أكل مع غيره، وذلك أن وجه الطعام هو أطيبه وأفضله، فإذا قصده بالأكل كان مستأثرا به على أصحابه، وفيه من ترك الأدب وسوء العشرة ما لا يخفى، فأما إذا أكل وحده فلا بأس به، والله أعلم
”Kemungkinan larangan tersebut (makan dari atas/tengah makanan piring) yaitu bila makan bersama orang lain, karena penampilan makanannya saat itu adalah yang terbaik dan afdlal. Apabila tujuan utama dari ia makan adalah untuk memuaskan diri sendiri di atas teman-temannya, maka itu merupakan perbuatan meninggalkan adab-adab (makan) dan jeleknya muamalah. Namun apabila ia makan sendiri, maka hal itu tidak mengapa. Wallaahu a’lam [Ma’aalimus-Sunan 4/124 oleh Al-Khaththaabiy dengan sedikit perubahan].
Yang jelas, hal tersebut bersifat umum karena larangan dalam dua hadits di atas memakai shighah tunggal dan jamak. Kemungkinan maksudnya adalah menjaga keberkahan makanan tersebut agar tetap selalu ada dalam jangka waktu yang lama.
Dan tidak diragukan lagi bahwa di dalamnya juga terkandung baiknya adab, khususnya (adab) ketika makan bersama.
Menjilat Jari-Jari Setelah Makan, Menjilat Piring, dan Memakan Makanan yang Terjatuh
Dalam Shahih Muslim, disebutkan satu hadits dari Anas radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam apabila makan suatu makanan, beliau menjilat jari-jarinya yang tiga, dan beliau bersabda :
إذَا سَقَطَتْ لقْمَةُ أَحَدِكمْ, فَلْيُمِطْ عَنْهَا اْلأَذَى, وَلْيَأكُلْهَا, وَلا يَدَعْهَا للشَّيطَانِ
”Apabila makanan salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotorannya, lalu makanlah. Jangan membiarkannya untuk dimakan oleh syaithan”.
Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kami untuk membersihkan piring (dengan menghabiskan sisa-sisa makanan yang ada), dan beliau bersabda :
فَإِنَّكُمْ لا تَدْرُوْنَ فِيْ أَيِّ طَعَامِكُمُ اْلبَرَكَةُ
”Karena kalian tidak tahu di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu berada” [Shahih Muslim 3/1607, Kitaabul-Asyribah, bab : Istihbaabu La’qil-Ashaabi’a wal-Qash’ah wa Aklil-Luqmatis-Saaqithah ba’da Mas-hi maa Yushiibuha min Adzaa wa Karaahiyati Mas-hi Yadd qabla La’qihaa].
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذَا أَكَلَ أَحَدُكمْ فَليَلْعَقَ أَصَابِعَهُ, فَإِنَّهُ لا يَدرِي فِي أَيَّتِهِنَّ اْلبَرَكة
”Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka jilatlah jari-jarinya, karena ia tidak mengetahui di bagian makanan yang manakah keberkahan itu berada” [Shahiih Muslim 3/1607 pada kitab dan bab yang sama dengan sebelumnya].
Dan dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :
وَلا يَمْسَحْ يَدَهُ بِاْلمِنْدِيْلِ, حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابعَهُ
“Dan janganlah ia membersihkan tangannya dengan sapu tangan, hingga ia menjilat jari-jemarinya” [Shahiih Muslim 3/1606 pada kitab dan bab yang sama dengan sebelumnya].
Juga hadits-hadits lain yang semisalnya.
Hadits-hadits tersebut mengandung beberapa jenis sunnah ketika makan; yaitu diantaranya : anjuran (istihbaab) menjilat jari-jari tangan untuk menjaga keberkahan makanan dan sekaligus membersihkannya. Juga anjuran untuk menjilat piring dan makan makanan yang terjatuh setelah membersihkannya dari kotoran yang ada” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim 3/203-204 dengan sedikit perubahan].
An-Nawawi berkata saat menjelaskan sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Kalian tidak tahu di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu berada”; beliau berkata :

معناه والله أعلم : أن الطعام الذي يحضره الانسام فيه بركة، ولا يدري أن تلك البركة فيما أكله، أو فيما بقي على أصابعه، أو فيما بقي في أسفل القصعة، أو في اللقمة الساقطة، فينبغي أن يحافظ على هذا كله لتحصل البركة، وأصل البركة الزيادة، وثبوت الخير، والامتاع به، والمراد هنا - والله أعلم - ما يحصل به التغذية، وتسلم عاقبته من أذى، ويقوّي على طاعة الله تعالى، وغير ذلك
“Maknanya adalah – wallaahu a’lam – bahwasannya makanan yang disediakan oleh seseorang itu terdapat keberkahan di dalamnya. Namun ia tidak mengetahui ada di bagian manakah barakah itu berada. Apakah pada apa yang telah dimakannya, atau pada yang tersisa/menempel pada jari-jarinya, atau ada pada sisa-sisa makanan yang ada di atas piring, atau pada makanan yang jatuh. Maka seyogyanya semua kemungkinan tersebut harus dijaga dan diperhatikan untuk barakah (makanan). Dan inti dari barakah adalah az-ziyaadah (tambahan), tetapnya suatu kebaikan, dan menikmatinya. Maksudnya adalah – wallaahu a’lam – apa yang ia dapatkan dari makanan tersebut (untuk menghilangkan lapar), terhindar dari penyakit, dan menguatkan tubuh untuk beribadah kepada Allah, serta hal lainnya” [idem 3/206, dengan sedikit perubahan].

Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata ketika menjelaskan kepada orang-orang yang memandang aib menjilat jari-jemari dan yang lainnya :

زعم قوم من أهل الترفه أن لعق الأصابع مستقبح أو مستقذر، كأنهم لم يعلموا أن الذي علق بالأصبع أو الصحفة جزء من أجزاء الطعام الذي أكلوه فإذا لم يكن سائر أجزائه المأكولة مستقذرا لم يكن هذا الجزء اليسير منه الباقي في الصحفة اللاصق بالأصابع مستقذرا كذلك....الخ
“Banyak dari orang-orang yang hidupnya selalu bersenang-senang dan bermewah-mewah menganggap bahwa menjilat jari adalah hal yang sangat buruk dan jorok. Seolah-olah mereka belum mengetahui bahwa apa yang menempel atau tersisa pada jari-jari dan piring adalah bagian dari keseluruhan makanan yang ia makan. Maka apabila seluruh makanan yang ia makan adalah tidak jorok, sudah barang tentu makanan yang tersisa di piring yang menempel di jari-jemari adalah tidak buruk dan tidak jorok pula” [Ma’aalimus-Sunan 4/184, dengan sedikit perubahan].

Maka, perhatikanlah bahwa adab-adab nabawiyyah tersebut mengandung anjuran untuk memperoleh dan mendapatkan barakah makanan, seperti juga padanya terdapat penjagaan terhadap makanan agar tidak hilang percuma, yang membantu pada penghematan harta dan menghindari kemubadziran.
Keberkahan pada Saat Menakar Makanan
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menganjurkan untuk menakar makanan dan beliau berjanji, dengannya akan didapatkan barakah padanya dari Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
Terdapat suatu riwayat dalam Shahih Al-Bukhari dari Al-Miqdaam bin Ma’diikarib [7] dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, bahwasannya beliau pernah bersabda :
كِيْلُوْا طَعَامَكُمْ يُبَارَكْ لَكُمْ
”Takarlah makanan kalian, maka kalian akan diberkahi” [Shahih Al-Bukhari 3/22, Kitaabul-Buyuu’, bab : Maa Yustahabbu minal-Kail].
Yang lainnya menambahkan pada akhir hadits : “di dalamnya” [Sunan Ibni Majah 2/750-751, Kitaabut-Tijaarah, bab : Maa Yurjaa fii Kailith-Tha’aam minal-Barakah; Musnad Al-Imam Ahmad 4/131; dan Shahih Ibni Hibban 7/207]
Menakar makanan hukumnya disunnahkan bagi seseorang pada apa-apa (makanan) yang ia nafkahkan kepada keluarganya. Dan makna hadits adalah : “Keluarkanlah dengan takaran yang telah diketahui yang akan habis pada waktu yang telah ditentukan”. Dan padanya terdapat barakah yang Allah berikan pada mudd penduduk Madinah dengan doa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam [Fathul-Baariy 4/346].
Rahasia dalam takaran tersebut adalah karena dengannya ia dapat mengetahui seberapa banyak yang ia butuhkan dan yang ia harus siapkan [’Umdatul-Qaariy oleh Al-‘Aini 11/247].
Abu Al-Jauzaa’ 1427/1430
Sumber : At-Tabarruk, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Al-Judai’, hal. 299 – 304; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1411 H, Riyadl.
*********
Catatan kaki :
[1] Beberapa ulama berpendapat tentang wajibnya tasmiyyah ketika makan. Lihat kitab Fathul-Baariy oleh Ibnu Hajar 9/522 dan kitab Badzlul-Majhuud oleh As-Sahaaranfuriy 16/97.
[2] Yaitu hadits :
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا أكل أحدكم طعاما فليقل : بسم الله، فإن نسي في أوله فليقل : بسم الله في أوله وأخره
Dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka katakanlah : ’bismillah’ (dengan menyebut nama Allah). Jika ia lupa (menyebut) di awalnya, maka katakanlah (ketika ingat) : ’bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi’ (dengan menyebut nama Allah di awal dan di akhirnya)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/139, Kitaabul-Ath’imah, bab : At-Tasmiyyatu ’alath-Tha’aam; At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/288, Kitaabul-Ath’imah, bab : Maa Jaa-a fit-Tasmiyyati ’alath-Tha’aam, ia berkata : ’Hadits hasan shahih’; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1087, Kitaabul-Ath’imah, bab : At-Tasmiyyatu ’indath-Tha’aam; Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 6/208; Ad-Daarimiy dalam Sunan-nya 2/94, Kitaabuth-Tha’aam, bab : Fit-Tasmiyyati ’alath-Tha’aam; dan Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 4/108, Kitaabul-Ath’imah, ia berkata : ’Hadits shahihul-isnad, namun Al-Bukhari dan Muslim tidakmengeluarkannya’, dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi].
[3] Beliau adalah ‘Abdullah bin Busr Al-Muzaaniy, Abu Shafwan As-Sulamiy Al-Hamshiy. Ia, ayahnya, ibunya, saudara laki-lakinya yang bernama ’Athiyyah, dan saudara perempuannya yang bernama Ash-Shamaa’ merupakan shahabat Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Meninggal di negeri Himsh pada tahun 88 H pada usia seratus tahun. Beliau merupakan orang-orang yang terakhir dari kalangan shahabat yang meninggal di Syam.
Lihat Asadul-Ghaabah 3/82, Al-Kaasyif oleh Adz-Dzahabi 2/62, Al-Ishaabah 2/273, dan Tahdziibut-Tahdziib 5/158.
[4] Qush’ah adalah bejana yang dipakai makan dan merendam roti di dalamnya; biasanya dibuat dari kayu. Diambil dari kitab Al-Mu’jamul-Wasith 2/746.
[5] Yaitu : yang paling atas, karena puncak dari setiap sesuatu adalah bagian paling atasnya. Lihat An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits wal-Aatsaar oleh Ibnul-Atsir 2/159.
[6] Beliau adalah Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khaththaab Al-Bustiy, Abu Sulaiman Al-Khaththaabiy. Al-imam, al-‘allamah, al-haafidh, ahli bahasa, dan memiliki banyak karangan, diantaranya : Ma’aalimus-Sunan fii Syarhi Sunan Abi Dawud, Ghariibul-Hadiits, Syarhul-Asmaa-il-Husnaa, dan Al-Ghunyah ‘anil-Kalaami wa Ahlihi. Wafat tahun 388 H.
Lihat Mu’jamul-Buldaan 1/415, Al-Ansaab 2/210, Wafiyaatu-A’yaan 2/214, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 17/23, dan Al-Bidaayah wan-Nihaayah 11/236.
[7] Beliau adalah Al-Miqdaam bin Ma’diikarib bin ‘Amr bin Yaziid Al-Kindiy, seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan darinya sejumlah hadits. Ia dilahirkan di daerah Himsh. Meninggal pada tahun 87 H, ada pula yang mengatakan tidak pada tahun tersebut.
Lihat Asadul-Ghaabah 4/478, Al-Ishaabah 3/434, dan Tahdziibut-Tahdziib 10/287.
di 20:58