Berkumpul Apabila
Makan
Dari Wahsyi bin Harb
radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam berkata : ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita makan tapi tidak
kenyang”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Mungkin saja kalian
makan dengan tidak berkumpul?”. Mereka berkata : ”Ya”. Beliau bersabda
:
فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكمْ , فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ
عَليهِ, يُبَارَكْ لَكمْ فِيهِ
”Berkumpullah kalian
ketika makan, dan sebutlah nama Allah padanya. Maka makanan kalian akan
diberkahi” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/138,
Kitaabul-Ath’imah, bab : Fil-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam; Ibnu Majah dalam Sunan-nya
2/1093, Kitaabul-Ath’imah, bab : Al-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam; Al-Imam Ahmad dalam
Musnad-nya 3/501; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 7/327, Kitaabul-Ath’imah,
Dzikrul-Amri bil-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam Rajaa’al-Barakah fil-Ijtimaa’
‘Alaih].
Dan di antara yang
menunjukkan atas keberkahan dari berkumpul saat makan juga adalah apa yang
diriwayatkan dalam Shahihain dari Abu Hurairah radliyalaahu ‘anhu, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
طَعَامُ اْلإثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاثَةَ وَطَعَامُ الثَّلاثةِ
كَافِي اْلأَرْبَعَةَ
”Makanan dua orang
cukup untuk tiga orang, dan makanan tiga orang cukup untuk empat orang”
[Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari 6/200, Kitaabul-Ath’imah, bab : Tha’aamul
Waahidi Yakfil-Itsnain; dan Shahih Muslim 3/1630, Kitaabul-Asyribah, bab :
Fadliilatul-Muwaasaatu fith-Tha’aamil-Qaliil wa anna Tha’aamal-Itsnaini
Yakfits-Tsalaatsati wa Nahwa Dzaalika].
Dalam riwayat lain
dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :
طَعَامُ الوَاحِدِ يَكفِي الإثْنَيْنِ, وَطَعَامُ الإثْنَيْنِ
يَكفِي اْلأَرْبَعَةَ, وَطَعَامُ اْلأَرْبَعَةِ يَكفِي اْلثََمَانِيَةَ
”Makanan satu orang
mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang, dan makanan empat
orang mencukupi delapan orang” [Diriwayatkan dalam Shahih Muslim 3/1630 pada
kitab dan bab yang lalu].
An-Nawawi
rahimahullah berkata :
في الحديث حث على المواساة في الطعام، وأنه وإن كان قليلا حصلت
منه الكفاية المقصودة، ووقعت فيه بركة تعم الحاضرين عليه
”Dalam hadits ini
terdapat sebuah anjuran agar saling berbagi dalam makanan. Sesungguhnya walaupun
makanan itu sedikit, tetapi akan terasa cukup dan ada keberkahan di dalamnya
yang diterima oleh seluruh yang hadir” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim
14/23].
Ibnu Hajar
rahimahullah berkata :
يؤخذ من هذا الحديث أن الكفاية تنشأ عن بركة الاجتماع على
الطعام، وأن الجمع كلما كثر ازدادت البركة
”Diambil dari hadits
ini (satu faedah), bahwasannya kecukupan itu akan hadir dari keberkahan
berkumpul saat makan; dan bahwasannya semakin banyak anggota yang berkumpul,
maka akan semakin bertambah barakahnya” [Fathul-Baari 9/535 dengan sedikit
perubahan].
Dengan hal ini,
sebagian ulama berpendapat bahwa berkumpul saat makan adalah disukai (istihbaab)
dan hendaknya seseorang tidak makan seorang diri” [Fathul-Baari
9/535].
Membaca Bismillah
Saat Makan
Telah disebutkan
dalam hadits terdahulu : “Berkumpullah kalian ketika makan, dan sebutlah nama
Allah padanya. Maka makanan kalian akan diberkahi”. Oleh sebab itu, meninggalkan
tasmiyyah (menyebut nama Allah) ketika makan akan menghalangi hadirnya
keberkahan padanya. Sehingga syaithan – semoga Allah melindungi kita darinya –
ikut makan, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ الشَّيطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ إِلَّا يُذْكَرَ
اسْمَ اللهِ عَليهِ
”Sesungguhnya
syaithan menghalalkan makanan (yang dimakan oleh manusia yang ia mendapatkan
bagian daripadanya), kecuali yang disebutkan nama Allah atasnya” [Diriwayatkan
dalam Shahih Muslim 3/1597, Kitaabul-Asyribah, bab : Aadaabuth-Tha’aam
wasy-Syaraabi wa Ahkaamuhuma, hadits tersebut mempunyai kisah yang
melatarbelakangi].
An-Nawawi
rahimahullah berkata :
معنى (يستحل) أي يتمكن من أكله، ومعناه أن يتمكن من أكل الطعام
إذا شرع فيه إنسان بغير ذكر الله تعالى، وأما إذا لم يشرع فيه أحد فلا يتمكن، وإن
كان جماعة فذكر اسم الله بعضهم دون بعض لم يتمكن منه
“Arti dari
menghalalkan yaitu dapat menikmati makanan tersebut. Maksudnya, bahwa syaithan
itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang memulainya tanpa dzikir kepada
Allah ta’ala. Adapun bila belum ada seseorang yang memulai makan, maka
(syaithan) tidak akan dapat memakannya. Jika sekelompok orang makan bersama-sama
dan sebagian mereka menyebut nama Allah sedangkan sebagian lainnya tidak, maka
syaithan pun tidak akan dapat memakannya” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim
13/189-190].
Dan di antara yang
disebutkan oleh An-Nawawi tentang adab-adab tasmiyyah ini dan hukum-hukumnya,
yaitu perkataannya :
أجمع العلماء على استحباب التسمية على الطعام في أوله، فإن
تركها في أوله عادما أو ناسيا أو مكروها أو عاجزا لعارض الأٓخر، ثم تمكن في أثناء
أكله استحب أن يسمي ويقول : بسم الله أوله وأٓخره، كما جاء في الحديث، ويستحب أن
يجهر بالتسمية يكون فيه تنبيه لغيره عليها وليقتدى به في ذلك
“Para ulama sepakat
bahwa tasmiyah saat awal waktu makan adalah mustahab (sunnah)[1], maka apabila
ia meninggalkannya saat di awal makan dengan sengaja maupun tidak sengaja,
terpaksa atau tidak mampu karena sebab tertentu, kemudian ia dapat melakukannya
pada pertengahan makannya, maka disukai untuk ber-tasmiyyah dan mengucapkan :
bismillaahi awwalahu wa aakhirahu (“Dengan menyebut nama Allah di awal dan
akhir”), sebagaimana disebutkan dalam hadits. [2] Dan disukai untuk mengeraskan
tasmiyyah sehingga ia menjadi satu peringatan pada yang lain agar mencontoh hal
tersebut darinya” [Al-Adzkaar, hal. 197, dengan perubahan. Lihat Syarh An-Nawawi
li-Shahih Muslim 12/188-189].
Makan dari Pinggir
Piring
Dari Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhuma berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
اْلبَرَكَةُ تَنْزِلُ فِي وَسَطِ الطَّعَامِ, فَكُلُوا مِنْ
حَافِيَتِهِ وَلا تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهِ
”Keberkahan itu akan
turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-pinggirnya dan jangan
kamu makan dari tengahnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 4/260,
Kitaabul-Ath’imah, bab : Maa Jaa-a fii Karaahiyatil-Akli min Wasathith-Tha’aam,
ia berkata : ‘Hadits ini shahih’, dan ini merupakan lafadhnya; Ibnu Majah dalam
Sunan-nya 2/1090, Kitaabul-Ath’imah, bab : An-Nahyu ‘anil-Akli min
Dzirwatits-Tsariid; Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/270; Ad-Daarimiy dalam
Sunan-nya 2/100, Kitaabul-Ath’imah, bab : An-Nahyu ‘an Akli Wasathits-Tsariid
Hattaa Ya’kula Jawaanibahu; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 7/333,
Kitaabul-Ath’imah, Dzikrul-Ibtidaa’ fil-Akli min Jawaanibith-Tha’aam. Abu Dawud
meriwayatkan dengan lafadh : (إذَا أَكَلَ أَحَدُكمْ
طَعَامًا, فَلا يَأْكُلْ مِنْ أَعلَى الصَحْفَةِ, وَلَكنْ لِيَأْكُلْ مِنْ
أَسْفَالِهَا, فَإِنَّ اْلبَرَكةَ تَنْزِلُ مِنْ أَعْلاهَا) “Jika salah seorang di antara kalian
makan, maka janganlah ia makan dari bagian atas piring, tetapi makanlah dari
bagian paling bawah darinya, karena keberkahan itu turun dari bagian atasnya”]
.
Dan dari ‘Abdullah
bin Busr [3] : Bahwasannya didatangkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam sebuah Qush’ah (piring)[4], lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
كُلُوا مِنْ جَوَانِبِهَا, وَدَعُوا ذِرْوَتَهَا! يُبَارَكْ
فِيْهَا
”Makanlah dari
pinggirannya dan tingalkanlah (terlebih dahulu) bagian tengahnya [5] (niscaya)
akan diberkahi padanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/143,
Kitaabul-Ath’imah, bab : Maa Jaa-a fil-Akli min a‘lash-Shahfah - di dalamnya
terdapat kisah latar belakangnya. Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dalam
Sunan-nya 2/1090, Kitaabul-Ath’imah, bab : An-Nahyu ‘anil-Akli min
Dzirwatits-Tsariid. As-Suyuthi menilainya hasan - Al-Jamii’ush-Shaghiir
2/96].
Dari dua hadits di
atas dan yang semisalnya merupakan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bagi kaum muslimin ketika makan, yaitu agar memulainya dari
pinggir-pinggir piring dengan tujuan supaya berkah yang Allah letakkan di tengah
makanan tetap ada. Dan hendaknya tidak memulai makan dari tengah piring hingga
selesai makan yang di pinggirnya terlebih dahulu. Adab ini bersifat umum, baik
bagi yang makan sendiri ataupun yang makan bersama-sama.
Al-Khaththaabiy [6]
rahimahullah berkata :
يحتمل أن يكون النهي عن الأكل من أعلى الصحفة إذا أكل مع غيره،
وذلك أن وجه الطعام هو أطيبه وأفضله، فإذا قصده بالأكل كان مستأثرا به على أصحابه،
وفيه من ترك الأدب وسوء العشرة ما لا يخفى، فأما إذا أكل وحده فلا بأس به، والله
أعلم
”Kemungkinan larangan
tersebut (makan dari atas/tengah makanan piring) yaitu bila makan bersama orang
lain, karena penampilan makanannya saat itu adalah yang terbaik dan afdlal.
Apabila tujuan utama dari ia makan adalah untuk memuaskan diri sendiri di atas
teman-temannya, maka itu merupakan perbuatan meninggalkan adab-adab (makan) dan
jeleknya muamalah. Namun apabila ia makan sendiri, maka hal itu tidak mengapa.
Wallaahu a’lam [Ma’aalimus-Sunan 4/124 oleh Al-Khaththaabiy dengan sedikit
perubahan].
Yang jelas, hal
tersebut bersifat umum karena larangan dalam dua hadits di atas memakai shighah
tunggal dan jamak. Kemungkinan maksudnya adalah menjaga keberkahan makanan
tersebut agar tetap selalu ada dalam jangka waktu yang
lama.
Dan tidak diragukan
lagi bahwa di dalamnya juga terkandung baiknya adab, khususnya (adab) ketika
makan bersama.
Menjilat Jari-Jari
Setelah Makan, Menjilat Piring, dan Memakan Makanan yang
Terjatuh
Dalam Shahih Muslim,
disebutkan satu hadits dari Anas radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam apabila makan suatu makanan, beliau menjilat
jari-jarinya yang tiga, dan beliau bersabda :
إذَا سَقَطَتْ لقْمَةُ أَحَدِكمْ, فَلْيُمِطْ عَنْهَا اْلأَذَى,
وَلْيَأكُلْهَا, وَلا يَدَعْهَا للشَّيطَانِ
”Apabila makanan
salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotorannya, lalu makanlah.
Jangan membiarkannya untuk dimakan oleh syaithan”.
Dan beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kami untuk membersihkan piring
(dengan menghabiskan sisa-sisa makanan yang ada), dan beliau bersabda
:
فَإِنَّكُمْ لا تَدْرُوْنَ فِيْ أَيِّ طَعَامِكُمُ
اْلبَرَكَةُ
”Karena kalian tidak
tahu di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu berada” [Shahih Muslim
3/1607, Kitaabul-Asyribah, bab : Istihbaabu La’qil-Ashaabi’a wal-Qash’ah wa
Aklil-Luqmatis-Saaqithah ba’da Mas-hi maa Yushiibuha min Adzaa wa Karaahiyati
Mas-hi Yadd qabla La’qihaa].
Dari Abi Hurairah
radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
:
إذَا أَكَلَ أَحَدُكمْ فَليَلْعَقَ أَصَابِعَهُ, فَإِنَّهُ لا
يَدرِي فِي أَيَّتِهِنَّ اْلبَرَكة
”Apabila salah
seorang di antara kalian makan, maka jilatlah jari-jarinya, karena ia tidak
mengetahui di bagian makanan yang manakah keberkahan itu berada” [Shahiih Muslim
3/1607 pada kitab dan bab yang sama dengan sebelumnya].
Dan dalam riwayat
lain dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :
وَلا يَمْسَحْ يَدَهُ بِاْلمِنْدِيْلِ, حَتَّى يَلْعَقَ
أَصَابعَهُ
“Dan janganlah ia
membersihkan tangannya dengan sapu tangan, hingga ia menjilat jari-jemarinya”
[Shahiih Muslim 3/1606 pada kitab dan bab yang sama dengan
sebelumnya].
Juga hadits-hadits
lain yang semisalnya.
Hadits-hadits
tersebut mengandung beberapa jenis sunnah ketika makan; yaitu diantaranya :
anjuran (istihbaab) menjilat jari-jari tangan untuk menjaga keberkahan makanan
dan sekaligus membersihkannya. Juga anjuran untuk menjilat piring dan makan
makanan yang terjatuh setelah membersihkannya dari kotoran yang ada”
[Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim 3/203-204 dengan sedikit
perubahan].
An-Nawawi berkata
saat menjelaskan sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Kalian tidak tahu
di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu berada”; beliau berkata
:
معناه والله أعلم : أن الطعام الذي يحضره الانسام فيه بركة، ولا
يدري أن تلك البركة فيما أكله، أو فيما بقي على أصابعه، أو فيما بقي في أسفل
القصعة، أو في اللقمة الساقطة، فينبغي أن يحافظ على هذا كله لتحصل البركة، وأصل
البركة الزيادة، وثبوت الخير، والامتاع به، والمراد هنا - والله أعلم - ما يحصل به
التغذية، وتسلم عاقبته من أذى، ويقوّي على طاعة الله تعالى، وغير ذلك
“Maknanya adalah –
wallaahu a’lam – bahwasannya makanan yang disediakan oleh seseorang itu terdapat
keberkahan di dalamnya. Namun ia tidak mengetahui ada di bagian manakah barakah
itu berada. Apakah pada apa yang telah dimakannya, atau pada yang
tersisa/menempel pada jari-jarinya, atau ada pada sisa-sisa makanan yang ada di
atas piring, atau pada makanan yang jatuh. Maka seyogyanya semua kemungkinan
tersebut harus dijaga dan diperhatikan untuk barakah (makanan). Dan inti dari
barakah adalah az-ziyaadah (tambahan), tetapnya suatu kebaikan, dan
menikmatinya. Maksudnya adalah – wallaahu a’lam – apa yang ia dapatkan dari
makanan tersebut (untuk menghilangkan lapar), terhindar dari penyakit, dan
menguatkan tubuh untuk beribadah kepada Allah, serta hal lainnya” [idem 3/206,
dengan sedikit perubahan].
Al-Khaththaabiy
rahimahullah berkata ketika menjelaskan kepada orang-orang yang memandang aib
menjilat jari-jemari dan yang lainnya :
زعم قوم من أهل الترفه أن لعق الأصابع مستقبح أو مستقذر، كأنهم
لم يعلموا أن الذي علق بالأصبع أو الصحفة جزء من أجزاء الطعام الذي أكلوه فإذا لم
يكن سائر أجزائه المأكولة مستقذرا لم يكن هذا الجزء اليسير منه الباقي في الصحفة
اللاصق بالأصابع مستقذرا كذلك....الخ
“Banyak dari
orang-orang yang hidupnya selalu bersenang-senang dan bermewah-mewah menganggap
bahwa menjilat jari adalah hal yang sangat buruk dan jorok. Seolah-olah mereka
belum mengetahui bahwa apa yang menempel atau tersisa pada jari-jari dan piring
adalah bagian dari keseluruhan makanan yang ia makan. Maka apabila seluruh
makanan yang ia makan adalah tidak jorok, sudah barang tentu makanan yang
tersisa di piring yang menempel di jari-jemari adalah tidak buruk dan tidak
jorok pula” [Ma’aalimus-Sunan 4/184, dengan sedikit
perubahan].
Maka, perhatikanlah
bahwa adab-adab nabawiyyah tersebut mengandung anjuran untuk memperoleh dan
mendapatkan barakah makanan, seperti juga padanya terdapat penjagaan terhadap
makanan agar tidak hilang percuma, yang membantu pada penghematan harta dan
menghindari kemubadziran.
Keberkahan pada Saat
Menakar Makanan
Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam menganjurkan untuk menakar makanan dan beliau
berjanji, dengannya akan didapatkan barakah padanya dari Allah subhaanahu wa
ta’aalaa.
Terdapat suatu
riwayat dalam Shahih Al-Bukhari dari Al-Miqdaam bin Ma’diikarib [7] dari Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam, bahwasannya beliau pernah bersabda
:
كِيْلُوْا طَعَامَكُمْ يُبَارَكْ لَكُمْ
”Takarlah makanan
kalian, maka kalian akan diberkahi” [Shahih Al-Bukhari 3/22, Kitaabul-Buyuu’,
bab : Maa Yustahabbu minal-Kail].
Yang lainnya
menambahkan pada akhir hadits : “di dalamnya” [Sunan Ibni Majah 2/750-751,
Kitaabut-Tijaarah, bab : Maa Yurjaa fii Kailith-Tha’aam minal-Barakah; Musnad
Al-Imam Ahmad 4/131; dan Shahih Ibni Hibban 7/207]
Menakar makanan
hukumnya disunnahkan bagi seseorang pada apa-apa (makanan) yang ia nafkahkan
kepada keluarganya. Dan makna hadits adalah : “Keluarkanlah dengan takaran yang
telah diketahui yang akan habis pada waktu yang telah ditentukan”. Dan padanya
terdapat barakah yang Allah berikan pada mudd penduduk Madinah dengan doa beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam [Fathul-Baariy 4/346].
Rahasia dalam takaran
tersebut adalah karena dengannya ia dapat mengetahui seberapa banyak yang ia
butuhkan dan yang ia harus siapkan [’Umdatul-Qaariy oleh Al-‘Aini
11/247].
Abu Al-Jauzaa’
1427/1430
Sumber : At-Tabarruk,
Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Al-Judai’,
hal. 299 – 304; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1411 H, Riyadl.
*********
Catatan kaki
:
[1] Beberapa ulama
berpendapat tentang wajibnya tasmiyyah ketika makan. Lihat kitab Fathul-Baariy
oleh Ibnu Hajar 9/522 dan kitab Badzlul-Majhuud oleh As-Sahaaranfuriy
16/97.
[2] Yaitu hadits
:
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : إذا أكل أحدكم طعاما فليقل : بسم الله، فإن نسي في أوله فليقل : بسم الله في
أوله وأخره
Dari ’Aisyah
radliyallaahu ’anhaa ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam : ”Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka katakanlah :
’bismillah’ (dengan menyebut nama Allah). Jika ia lupa (menyebut) di awalnya,
maka katakanlah (ketika ingat) : ’bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi’ (dengan
menyebut nama Allah di awal dan di akhirnya)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam
Sunan-nya 4/139, Kitaabul-Ath’imah, bab : At-Tasmiyyatu ’alath-Tha’aam;
At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/288, Kitaabul-Ath’imah, bab : Maa Jaa-a
fit-Tasmiyyati ’alath-Tha’aam, ia berkata : ’Hadits hasan shahih’; Ibnu Majah
dalam Sunan-nya 2/1087, Kitaabul-Ath’imah, bab : At-Tasmiyyatu ’indath-Tha’aam;
Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 6/208; Ad-Daarimiy dalam Sunan-nya 2/94,
Kitaabuth-Tha’aam, bab : Fit-Tasmiyyati ’alath-Tha’aam; dan Al-Haakim dalam
Al-Mustadrak 4/108, Kitaabul-Ath’imah, ia berkata : ’Hadits shahihul-isnad,
namun Al-Bukhari dan Muslim tidakmengeluarkannya’, dan hal ini disepakati oleh
Adz-Dzahabi].
[3] Beliau adalah
‘Abdullah bin Busr Al-Muzaaniy, Abu Shafwan As-Sulamiy Al-Hamshiy. Ia, ayahnya,
ibunya, saudara laki-lakinya yang bernama ’Athiyyah, dan saudara perempuannya
yang bernama Ash-Shamaa’ merupakan shahabat Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.
Meninggal di negeri Himsh pada tahun 88 H pada usia seratus tahun. Beliau
merupakan orang-orang yang terakhir dari kalangan shahabat yang meninggal di
Syam.
Lihat Asadul-Ghaabah
3/82, Al-Kaasyif oleh Adz-Dzahabi 2/62, Al-Ishaabah 2/273, dan
Tahdziibut-Tahdziib 5/158.
[4] Qush’ah adalah
bejana yang dipakai makan dan merendam roti di dalamnya; biasanya dibuat dari
kayu. Diambil dari kitab Al-Mu’jamul-Wasith 2/746.
[5] Yaitu : yang
paling atas, karena puncak dari setiap sesuatu adalah bagian paling atasnya.
Lihat An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits wal-Aatsaar oleh Ibnul-Atsir
2/159.
[6] Beliau adalah
Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khaththaab Al-Bustiy, Abu Sulaiman
Al-Khaththaabiy. Al-imam, al-‘allamah, al-haafidh, ahli bahasa, dan memiliki
banyak karangan, diantaranya : Ma’aalimus-Sunan fii Syarhi Sunan Abi Dawud,
Ghariibul-Hadiits, Syarhul-Asmaa-il-Husnaa, dan Al-Ghunyah ‘anil-Kalaami wa
Ahlihi. Wafat tahun 388 H.
Lihat
Mu’jamul-Buldaan 1/415, Al-Ansaab 2/210, Wafiyaatu-A’yaan 2/214, Siyaru
A’laamin-Nubalaa’ 17/23, dan Al-Bidaayah wan-Nihaayah
11/236.
[7] Beliau adalah
Al-Miqdaam bin Ma’diikarib bin ‘Amr bin Yaziid Al-Kindiy, seorang shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan darinya sejumlah hadits. Ia
dilahirkan di daerah Himsh. Meninggal pada tahun 87 H, ada pula yang mengatakan
tidak pada tahun tersebut.
Lihat Asadul-Ghaabah
4/478, Al-Ishaabah 3/434, dan Tahdziibut-Tahdziib 10/287.
di
20:58