Bercanda dan berkelakar tidaklah dilarang dalam Islam karena Nabi Muhammad SAW. Sendiri pun pernah melakukannya Berkelakar atau
bercanda merupakan hal lumrah yang dilakukan manusia. Bahkan, kadang berkelakar
sudah menjadi semacam ‘bumbu’ dalam setiap pembicaraan.
Namun, adakalanya kita
menemui seseorang yang berlebihan dalam bercanda dan tertawa, dan di lain pihak
ada pula seseorang yang selalu bermuka kelam tanpa dihiasi garis-garis senyum di
bibirnya. Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara dua kebathilan. Selain
itu Islam juga merupakan agama yang komplit, yang mengatur segala sesuatu sampai
dengan buang hajat dengan segala adabnya. Lalu,… bagaimana Islam membicarakan
fiqh dalam bercanda ?
Dalam beberapa
riwayat menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bercanda
ketika memanggil shahabatnya :
يَا ذَا اْلأُذُنَيْن
“Hai yang mempunyai
dua telinga “ [1]
Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam juga pernah berkata kepada seorang perempuan tua : “Tidak ada
perempuan tua yang masuk surga”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
membaca ayat :
إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً * فَجَعَلْنَاهُنَّ
أَبْكَارًا
“Sesungguhnya Kami
menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan
mereka gadis-gadis perawan “ [QS. Al-Waaqi’ah : 35-36] [2]
Dari Anas
radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku
jalan-jalan”. Beliau berkata : “Kami akan membawamu berjalan-jalan menaiki anak
unta”. Laki-laki itu pun menukas : “Apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?”.
Beliau berkata :
وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلّا النُّوقُ
“Bukankah setiap unta
adalah anak ibunya?” [3]
Dari Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia berkata : “Orang-orang bertanya :
‘Wahai Rasulullah, apakah engkau juga mengajak kami bercanda?’. Beliau menjawab
:
إِنِّي لا أَقُولُ إِلّا حَقّاً
”(Ya, tapi) tidaklah
aku hanya mengatakan sesuatu kecuali kebenaran (tanpa
berdusta)“[4]
Dari beberapa riwayat
tentang kelakar/bercandanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terkumpul
padanya 3 (tiga) perkara :
1.
Tidak berdusta / tidak
mengada-ada.
2.
Dilakukan terhadap wanita, anak-anak, dan
kalangan pria yang lemah yang butuh bimbingan.
3.
Jarang dilakukan (kadang-kadang).
Tiga perkara di atas
hendaknya diperhatikan oleh kaum muslimin - baik bagi orang awam, para da’i, dan
para pemimpin - dalam bermuamalah terhadap sesama. Tidak halal hukumnya sengaja
melucu dengan hal-hal kedustaan agar manusia tertawa karenanya. Merupakan
musibah di masyarakat ketika profesi pelawak menjadi sangat laris di masyarakat.
Hendaknya mereka bertaubat kepada Allah ta’ala dan meninggalkannya, sebab
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengancam mereka (yang melucu dengan
dusta agar orang-orang tertawa) dengan sabdanya :
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ، لِيُضْحِكَ بِهِ
الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Neraka Wail bagi
orang yang berbicara lalu berdusta untuk melucu (membuat orang tertawa); neraka
Wail baginya, neraka Wail baginya“ [5]
Dengan demikian,
berlebihan dalam kelakar dan terus-terusan dengannya adalah terlarang, karena
hal itu akan menjatuhkan kehormatan dan menumbuhkan dendam serta kemarahan.
Adapun kalau sedikit, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka hal itu
mengandung kebaikan jiwa. Dan terakhir, tersisa nasihat emas dari salaf kita
:
ينبڠي لمن كان ضحوكاًَ بسّاماًَ أن يُقصِّر من ذلك، ويلومَ
نفسَه حتى لا تمجَّهُ الأَنفس، وينبغي لمن كان عبوساً منقبضاً أن يتبسَّم، ويُحسن
خُلقَه، ويمقتَ نفسَه على رداءة خُلُقه، وكلُّ انحراف عن اعتدال فَمَذْموم، ولا
بدَّ للنفس من مجاهدة وتأديب
“…Hendaknya mereka
senang tertawa untuk membatasi diri dan hendaknya mereka mencela diri sendiri
sehingga jiwanya tidak goyah. Sementara bagi mereka yang berwajah kusam masam,
hendaknya mereka tersenyum dan memperelokkan akhlaqnya, serta harus marah kepada
diri sendiri karena kejelekan akhlaqnya. Setiap penyimpangan yang keluar dari
rel penyimpangan adalah tercela. Sehingga jiwa itu perlu dididik dan
dibenahi”.[6]
Disadur dari Aina
Nahnu min Akhlaaqis-Salaf oleh ’Abdul-’Aziz bin Naashir Al-Jalil hal.
135-137.
Catatan kaki
:
[1] HR. At-Tirmidzi
dalam Asy-Syamail no. 235 dan Sunan-nya no. 1992, 3828; Abu Dawud no. 5002; dan
Ahmad 3/117, 127. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud
3/228.
[2] HR. At-Tirmidzi
dalam Asy-Syamail no. 240 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Mukhtashar Asy-Syamail no. 205 dan Ghayatul-Maram no. 375.
[3] HR. Abu Dawud no.
4998 dan At-Tirmidzi no. 1991. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 3/228. .
[4] HR. At-Tirmidzi
no. 1990; dan beliau berkata : “Hadits ini hasan shahih”. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/375.
[5] HR. Abu Dawud
dalam no. 4990 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud 3/226.
[6] Siyaaru
A’lamin-Nubalaa’ 10/140, 141.