Saturday, February 7, 2015

Adab-adab dan aturan dalam Bercanda dan Berkelakar

Bercanda dan berkelakar tidaklah dilarang dalam Islam karena Nabi Muhammad SAW. Sendiri pun pernah melakukannya Berkelakar atau bercanda merupakan hal lumrah yang dilakukan manusia. Bahkan, kadang berkelakar sudah menjadi semacam ‘bumbu’ dalam setiap pembicaraan. 

Namun, adakalanya kita menemui seseorang yang berlebihan dalam bercanda dan tertawa, dan di lain pihak ada pula seseorang yang selalu bermuka kelam tanpa dihiasi garis-garis senyum di bibirnya. Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara dua kebathilan. Selain itu Islam juga merupakan agama yang komplit, yang mengatur segala sesuatu sampai dengan buang hajat dengan segala adabnya. Lalu,… bagaimana Islam membicarakan fiqh dalam bercanda ?
Dalam beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bercanda ketika memanggil shahabatnya :
يَا ذَا اْلأُذُنَيْن
“Hai yang mempunyai dua telinga “ [1]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah berkata kepada seorang perempuan tua : “Tidak ada perempuan tua yang masuk surga”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam membaca ayat :
إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً * فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan “ [QS. Al-Waaqi’ah : 35-36] [2]
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku jalan-jalan”. Beliau berkata : “Kami akan membawamu berjalan-jalan menaiki anak unta”. Laki-laki itu pun menukas : “Apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?”. Beliau berkata :
وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلّا النُّوقُ
“Bukankah setiap unta adalah anak ibunya?” [3]
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia berkata : “Orang-orang bertanya : ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau juga mengajak kami bercanda?’. Beliau menjawab :
إِنِّي لا أَقُولُ إِلّا حَقّاً
”(Ya, tapi) tidaklah aku hanya mengatakan sesuatu kecuali kebenaran (tanpa berdusta)“[4]
Dari beberapa riwayat tentang kelakar/bercandanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terkumpul padanya 3 (tiga) perkara :
1.
Tidak berdusta / tidak mengada-ada.
2.
Dilakukan terhadap wanita, anak-anak, dan kalangan pria yang lemah yang butuh bimbingan.
3.
Jarang dilakukan (kadang-kadang).
Tiga perkara di atas hendaknya diperhatikan oleh kaum muslimin - baik bagi orang awam, para da’i, dan para pemimpin - dalam bermuamalah terhadap sesama. Tidak halal hukumnya sengaja melucu dengan hal-hal kedustaan agar manusia tertawa karenanya. Merupakan musibah di masyarakat ketika profesi pelawak menjadi sangat laris di masyarakat. Hendaknya mereka bertaubat kepada Allah ta’ala dan meninggalkannya, sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengancam mereka (yang melucu dengan dusta agar orang-orang tertawa) dengan sabdanya :

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ، لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Neraka Wail bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk melucu (membuat orang tertawa); neraka Wail baginya, neraka Wail baginya“ [5]

Dengan demikian, berlebihan dalam kelakar dan terus-terusan dengannya adalah terlarang, karena hal itu akan menjatuhkan kehormatan dan menumbuhkan dendam serta kemarahan. Adapun kalau sedikit, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka hal itu mengandung kebaikan jiwa. Dan terakhir, tersisa nasihat emas dari salaf kita :
ينبڠي لمن كان ضحوكاًَ بسّاماًَ أن يُقصِّر من ذلك، ويلومَ نفسَه حتى لا تمجَّهُ الأَنفس، وينبغي لمن كان عبوساً منقبضاً أن يتبسَّم، ويُحسن خُلقَه، ويمقتَ نفسَه على رداءة خُلُقه، وكلُّ انحراف عن اعتدال فَمَذْموم، ولا بدَّ للنفس من مجاهدة وتأديب

“…Hendaknya mereka senang tertawa untuk membatasi diri dan hendaknya mereka mencela diri sendiri sehingga jiwanya tidak goyah. Sementara bagi mereka yang berwajah kusam masam, hendaknya mereka tersenyum dan memperelokkan akhlaqnya, serta harus marah kepada diri sendiri karena kejelekan akhlaqnya. Setiap penyimpangan yang keluar dari rel penyimpangan adalah tercela. Sehingga jiwa itu perlu dididik dan dibenahi”.[6]

Disadur dari Aina Nahnu min Akhlaaqis-Salaf oleh ’Abdul-’Aziz bin Naashir Al-Jalil hal. 135-137.
Catatan kaki :
[1] HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail no. 235 dan Sunan-nya no. 1992, 3828; Abu Dawud no. 5002; dan Ahmad 3/117, 127. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/228.
[2] HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail no. 240 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail no. 205 dan Ghayatul-Maram no. 375.
[3] HR. Abu Dawud no. 4998 dan At-Tirmidzi no. 1991. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/228. .
[4] HR. At-Tirmidzi no. 1990; dan beliau berkata : “Hadits ini hasan shahih”. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/375.
[5] HR. Abu Dawud dalam no. 4990 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/226.
[6] Siyaaru A’lamin-Nubalaa’ 10/140, 141.