Thursday, February 5, 2015

Kwajiban menundukkan pandanga dari yang haram

Oleh : Faishal bin ’Abduh Qa’id Al-Hasyidi
Dalil dari Al-Qur’an
Allah berfirman :

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya” [QS. An-Nuur : 30-31].

Ibnu Katsir berkata : «Ini adalah perintah dari Allah ’azza wa jalla kepada hamba-hamba-Nya mukminin untuk menundukkan pandangan-pandangan mereka dari perkara-perkara yang diharamkan bagi mereka. Mereka tidak memandang kecuali pada apa yang diperbolehkan bagi mereka dan untuk menundukkan pandangan dari yang diharamkan, apabila kebetulan memandang kepada yang haram tanpa disengaja maka langsung memalingkan pandangannya secepat mungkin” ». [1]

Al-Hafidh Abu Bakr Al-Amiriy rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat {قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ} ”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya” : «Dari yang diharamkan atas mereka [2]. Dan lafadh (مِنْ) maknanya adalah sebagian[3], seolah-olah Allah mengkhususkan bahaya dan keharaman satu jenis dari pandangan, yaitu sebagaimana yang telah aku isyaratkan, dan tidak mengharamkan sebagian pandangan kepada mahram dan kepada siapa saja yang ada kebutuhan yang menuntut untuk memandangnya.

Kemudian setelahnya disebutkan wanita secara khusus, padahal wanita masuk dalam keumuman khithab (pembicaraan) syari’at, karena mengikuti laki-laki. Allah berfirman : {وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ} ”Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya” [4] - sebagai penekanan dalam masalah pandangan dan sebagai kehati-hatian dalam menjaga kemaluan dari zina dan bahaya yang lain, dan agar orang tidak salah paham bahwa perintah itu khusus bagi laki-laki saja ».[5]

Al-’Allamah Ibnul-Qayyim berkata : «”Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam agar memerintahkan kaum mukminin untuk menundukkan pandangan mereka, menjaga kemaluan mereka, dan memberitahukan kepada mereka bahwa Allah menyaksikan amal-amal mereka. Allah berfirman :

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
”Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati” [QS. Ghaafir : 19].

Dan karena awal dari itu semua adalah pandangan. Maka Allah menjadikan perintah menundukkan pandangan lebih dahulu daripada menjaga kemaluan”».[6]

Ibnul-Qayyim berkata pula : «”Ketika menundukkan pandangan itu adalah inti untuk menjaga kemaluan, maka Allah memulai penyebutannya dengan menundukkan pandangan, dan karena pengharamannya adalah pengharaman wasilah/perantara (untuk menuju maksiat) sehingga kadang dibolehkan karena adanya maslahat yang lebih besar, dan kadang diharamkan apabila dikhawatirkan adanya kerusakan yang tidak ada padanya maslahat yang lebih besar daripada kerusakan tersebut. Maka Allah tidak memerintahkan untuk menundukkan pandangan secara mutlak, tetapi memerintahkan untuk menundukkan sebagian saja. Adapun menjaga kemaluan, maka tetap wajib dalam setiap keadaan, dan tidak diperbolehkan kecuali dengan haknya. Oleh sebab itu, Allah mengumumkan perintah untuk menjaganya dan Allah telah menjadikan mata sebagai cermin hati. Apabila seorang hamba itu menundukkan pandangannya, maka hatinya akan menundukkan syahwat dan keinginan-keinginannya. Dan apabila ia mengumbar pandangannya, maka hati akan mengumbar syahwatnya”».

Dalil-Dalil dari As-Sunnah An-Nabawiyyah
1. Dari Jarir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
”Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dari pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku”. [7]

Al-Imam An-Nawawi berkata : «”Makna pandangan tiba-tiba adalah pandangan kepada wanita asing/nukan mahram (ajnabiyyah) tanpa sengaja, tidak ada dosa baginya pada awal pandangan, dan wajib untuk memalingkannya pada saat itu juga. Apabila dipalingkan saat itu juga maka tidak berdosa, akan tetapi apabila terus-menerus memandang, maka berdosa berdasarkan hadits ini, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memalingkan pandangannya. Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman : {قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ} ”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya”».[8]

2. Dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَا عِلِيُّ، لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ، فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ
“Wahai ‘Ali, janganlah kamu mengikutkan pandangan dengan pandangan. Sesungguhnya bagimu hanyalah pandangan yang pertama, dan bukan yang setelahnya”.[9]
Al-Haafidh Abu Bakr Al-‘Amiriy berkata : «”Yaitu pandangan yang pertama adalah pandangan tiba-tiba tanpa kesengajaan, maka bagimu maaf, tanpa dosa. Dan tidak boleh bagimu pandangan yang kedua apabila kamu mengikutkannya dengan pandangan untuk menikmati. Ini adalah pembicaraan yang ditujukan kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu bersamaan dengan pengetahuan beliau terhadap kezuhudan dan kehati-hatian ‘Ali. Penjagaan ‘Ali terhadap batinnya, juga pada lahirnya. Akan tetapi beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tetap memperingatkan ‘Ali dari pandangan dan memberikan keamanan kepadanya dari bahaya, agar orang-orang rendahan tidak mengaku-ngaku aman, tertipu dengan kemaksuman dan keamanan dari fitnah/godaan. Dan tidak ada yang merasa aman dari makar Allah kecuali kaum yang merugi”».[10]

3. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda :
كُتِبَ عَلَى ابْنِ أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌُ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
”Telah dituliskan atas Bani Adam bagian dari zina yang pasti ia melakukannya, tidak bisa tidak. Maka, zina kedua mata adalah melihat (yang diharamkan), zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan), zina lisan adalah berkata-kata (yang diharamkan), zina tangan adalah memegang (yang diharamkan), zina kaki adalah melangkah (ke tempat yang diharamkan), hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya”.[11]

Ibnu Baththal rahimahullah berkata : «”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menamakan pandangan dan pembicaraan sebagai zina, karena keduanya menyeret kepada zina yang sesungguhnya. Oleh sebab itu beliau bersabda : ”....dan kemaluan yang membenarkan itu semua dan yang mendustakannya”».[12]

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : «”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memulai dengan zina mata karena itu adalah awal dari zina tangan, zina kaki, zina hati, dan zina kemaluan. Dan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menegaskan bahwa ucapan adalah zina lisan karena zinanya bibir adalah mencium, dan kemaluan lah yang membenarkan itu semua apabila benar-benar melakukan perbuatan (zina); atau mendustakan apabila tidak melaksanakannya”».[13]

Al-Imam Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata : «”Yang menjadikan dalil adalah sabda beliau shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Maka zina kedua mata adalah melihat”; memutlakkan penyebutan zina pada mata adalah ketika dalil yang jelas tidak memastikan keharamannya serta memperingatkan darinya. Dan hadits-hadits yang semacam ini adalah sangat banyak lagi diketahui.

Dan telah diketahui bahwasannya pandangan adalah sebab terjadinya zina, karena seseorang yang banyak memandang kecantikan wanita misalnya, maka kadang-kadang hal itu dapat menyebabkan kecintaan dalam hatinya yang kemudian dapat menyebabkan kebinasaannya. Wal-’iyaadzubillah».[14]
4. Dari ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam membonceng Al-Fadhl bin ’Abbas di belakang beliau ketika haji, kemudian datang seorang wanita dari Khats’am yang meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memalingkan kepala Al-Fadhl agar tidak melihat kepada wanita tersebut. Maka paman beliau – Al-’Abbas – berkata kepada beliau : ”Engkau memalingkan kepala anak paman engkau, wahai Rasululah ?”. Maka beliau menjawab :

رَأَيْتُ شَابًّا وَشَابَّةً فَلَمْ آمَنِ الشَّيْطَانَ عَلَيْهِمَا
”Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tidak merasa aman dari syaithan terhadap mereka berdua”[15].
Al-Haafidh Abu Bakr Al-’Amiriy rahimahullah berkata : «”Yaitu (beliau khawatir) hati mereka sibuk saling memikirkan yang lain apabila memandang. Maka lihatlah bagaimana beliau melakukannya pada anak paman beliau sendiri di hadapan ayahnya saat dia sibuk dengan perkara haji dan beliau tidak merasa aman terhadap tabiat dari fitnah, sedangkan syaithan terus menggoda dan menguji”».[16]

Saya (Faishal bin ’Abduh Qa’id Al-Hasyidi – yaitu penulis risalah ini) katakan : Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadh yang berbeda sebagaimana terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim [17], dari ’Abdullah bin ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Al-Fadhl pernah membonceng Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, kemudian datang seorang wanita dari Khats’am, maka Al-Fadhl melihat kepada wanita tersebut dan wanita tersebut dan wanita tersebut pun melihat kepadanya. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memalingkan wajah Al-Fadhl ke arah yang lain”. Ini adalah dalil yang paling jelas sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah : «”Penghalangan dan pengingkaran dengan perbuatan, kalau seandainya memandang itu diperbolehkan, tentu Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam akan membiarkan Al-Fadhl”».[18]

Ibnu Baththal berkata : «”Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menundukkan pandangan karena takut fitnah/godaan”. Ia juga berkata : ”Menegaskan hal itu bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak memalingkan wajah Al-Fadhl sehingga Al-Fadhl merasa tertarik dan kagum atas wanita tersebut, sehingga beliau takut fitnah atas diri Al-Fadhl”. Ia juga berkata : ”Dalam hadits ini menunjukkan menangnya tabiat kemanusiaan dalam diri anak Adam dan lemahnya tabiat tersebut dari perkara-perkara yang menguasainya seperti condong kepada wanita dan kagum terhadap mereka”».[19]
Ijma’ Ulama’ atas Keharaman Memandang Wanita yang Bukan Mahram
Itulah sebagian dalil yang menunjukkan haramnya memandang kepada yang tidak dihalalkan untuk memandangnya. Dan ulama telah ber-ijma’ atas haramnya memandang orang asing (bukan mahram) baik laki-laki ataupun perempuan yang sebagiannya memandang kepada yang lain jenis.

Al-Haafidh Abu Bakr Al-’Amiriy rahimahullah berkata : «”Sesungguhnya yang di-ijma’-kan oleh umat dan disepakati oleh ulama salaf serta khalaf dari kalangan fuqahaa’ dan para imam atas keharamannya adalah memandang orang asing baik laki-laki atau perempuan, sebagiannya kepada yang lainnya. Yaitu mereka yang tidak ada hubungan rahim dan nasab, dan bukan pula mahram karena suatu sebab seperti susuan yang lain – maka mereka itu haram, sebagian memandang yang lain... maka memandang dan berduaan haram atas mereka menurut kaum muslimin secara keseluruhan”».[20]
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata : «”Ulama sepakat atas wajibnya menundukkan pandangan dari selain harimah, istri, dan budak kecuali bagi orang yang ingin menikahi wanita, maka halal baginya untuk memandang kepada wanita tersebut”».[21]
Al-Qurthubi berkata : «”Sungguh Asy-Sya’biy membenci seseorang yang terus-menerus memandang kepada anak, ibu, dan saudarinya. Dan jaman Asy-Sya’biy lebih baik daripada jaman kita ini, dan diharamkan atas laki-laki untuk memandang kepada yang haram, pandangan bersyahwat dan berulang-ulang”».[22]
Saya (Faishal bin ’Abduh Qa’id Al-Hasyidi – yaitu penulis risalah ini) katakan : Semoga Allah merahmati Al-Qurthubi. Maka bagaimana sikap beliau seandainya menyaksikan jaman kita yang merupakan jaman dengan model pakaian transparan dan membentuk tubuh ? Dan Islam benar-benar menjadi asing di kalangan pemeluknya, dan senantiasa terus-menerus ada pengaduan dari para pemuda tentang apa yang mereka dapatkan dalam keluarga mereka dari pakaian-pekaian yang menjerumuskan mereka – atau hampir-hampir menjerumuskan mereka – ke dalam jerat-jerat fitnah (godaan/cobaan). Maka, apakah orang-orang yang berakal memperhatikan hal ini ?
Selesai diketik oleh Abul-Jauzaa’ tanggal 26 Agustus 2008 pukul 00.14.
[1] Dengan sedikit perubahan dari Tafsir Ibnu Katsir (3/282).
[2] Allah ‘azza wa jalla tidak menyebutkan apa-apa yang harus ditundukkan pandangan darinya, karena hal itu telah diketahui dengan kebiasaan bahwasannya yang dimaksud adalah yang haram.
[3] Ini adalah pendapat yang benar. Ada yang berpendapat bahwa lafadh ini tambahan saja. Ada pula yang mengatakan bahwa lafadh ini sebagai penghubung dengan lafadh sebelumnya.
[4] Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (3/694) : “Pendapat yang benar adalah sebagaimana madzhabnya kebanyakan ulama dan para shahabat bahwasannya diharamkan bagi wanita untuk memandang laki-laki asing sebagaimana diharamkan bagi laki-laki tersebut memandang kepadanya”.
[5] Ahkaamun-Nadhar karya Al-Haafidh Abu Bakr bin Habib Al-‘Amiriy, hal. 35.
[6] Al-Jawaabul-Kaafiy oleh Al-‘Allamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 226.
[7] HR. Muslim no. 2159.
[8] Syarhun-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim(14/139).
[9] HR. At-Tirmidzi no. 2777, Abu Dawud no. 2149, dan Al-Albani berkata dalam Shahih Sunan Abi Dawud : hasan.
[10] Ahkaamun-Nadhar ilal-Muharramat oleh Al-Haafidh Abu Bakr Al-‘Amiriy, hal. 45.
[11] HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657, dan ini adalah lafadh Muslim.
[12] Fathul-Bari (11/28).
[13] Raudlatul-Muhibbin hal. 93.
[14] Adlwaaul-Bayaan oleh Asy-Syinqithi (6/191).
[15] Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad no. 562 dan At-Tirmidzi no. 885 dan ia berkata : hasan shahih. Al-Albani berkata : hasan.
[16] Ahkaamun-Nadhar ilal-Muharramat oleh Al-‘Amiriy, hal. 42.
[17] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1513 dan Muslim no. 1334.
[18] Raudlatul-Muhibbin hal. 93.
[19] Fathul-Bari (11/10).
[20] Ahkaamun-Nadhar ilal-Muharramat hal. 32.
[21] Maraatibul-Ijma’ oleh Abu Muhammad bin Hazm, hal. 182.
[22] Tafsir Al-Qurthubi (12/223).