Saturday, February 21, 2015

Menyuruh Orang Lain Berdiri/Menyingkir dan Kemudian Ia Duduk di Tempat Orang Tersebut

عن ابن عمر رضي الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا يقيم الرجل الرجل من مجلسه ثم يجلس فيه).
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di tempat tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6269, Muslim no. 2177, ‘Abdurrazzaq no. 5592 & 5594, ‘Abd bin Humaid no. 764, Ibnu Hibbaan no. 587, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 1538, Al-Baihaqiy 3/232, dan yang lainnya].
Adalah Ibnu ‘Umar membenci menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian duduk di tempatnya itu [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6270 dan Muslim no. 2177].
عن جابر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال "لا يقيمن أحدكم أخاه يوم الجمعة. ثم ليخالف إلى مقعده فيقعد فيه. ولكن يقول: افسحوا".
Dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah salah seorang di antara kalian menyuruh saudaranya untuk berdiri (dari tempat duduknya) pada hari Jum’at, lalu ia duduk di tempat duduknya itu. Akan tetapi hendaknya ia berkata : ‘Berlapanglah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2178].
عن ابن عمر قال : جاء رجل إلى النبيِّ صلى اللّه عليه وسلم، فقام له رجل من مجلسه، فذهب ليجلس فيه، فنهاه النبيُّ صلى اللّه عليه وسلم.
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ada seseorang berdiri dari tempat duduknya untuknya. Ketika laki-laki itu ingin duduk di tempat tersebut, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4828; shahih – lihat Shahih Sunan Abi Dawud 3/186].
Mengomentari hadits di atas, Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah berkata :
وهكذا يكره ان يجلس في موضع وان قام له عن مجلسه باختياره
“Begitulah, dimakruhkan duduk di tempat itu meskipun orang tersebut berdiri untuknya dengan kemauannya sendiri” [Al-Jami’ li-Akhlaaqir-Raawiy wa Aadaabis-Saami’ no. 263, tahqiq : Dr. Mahmuud Ath-Thahhaan; Maktabah Al-Ma’arif, Cet. Thn. 1403].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
هَذَا النَّهْي لِلتَّحْرِيمِ , فَمَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِع مُبَاح فِي الْمَسْجِد وَغَيْره يَوْم الْجُمُعَة أَوْ غَيْره لِصَلَاةٍ أَوْ غَيْرهَا فَهُوَ أَحَقّ بِهِ , وَيَحْرُم عَلَى غَيْره إِقَامَته لِهَذَا الْحَدِيث , إِلَّا أَنَّ أَصْحَابنَا اِسْتَثْنَوْا مِنْهُ مَا إِذَا أَلِف مِنْ الْمَسْجِد مَوْضِعًا يُفْتِي فِيهِ , أَوْ يَقْرَأ قُرْآنًا أَوْ غَيْره مِنْ الْعُلُوم الشَّرْعِيَّة , فَهُوَ أَحَقّ بِهِ , وَإِذَا حَضَرَ لَمْ يَكُنْ لِغَيْرِهِ أَنْ يَقْعُد فِيهِ . وَفِي مَعْنَاهُ مَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِع مِنْ الشَّوَارِع وَمَقَاعِد الْأَسْوَاق لِمُعَامَلَةٍ . وَأَمَّا قَوْله : ( وَكَانَ اِبْن عُمَر إِذَا قَامَ لَهُ رَجُل عَنْ مَجْلِسه لَمْ يَجْلِس فِيهِ ) فَهَذَا وَرَع مِنْهُ , وَلَيْسَ قُعُوده فِيهِ حَرَامًا إِذَا قَامَ بِرِضَاهُ , لَكِنَّهُ تَوَرَّعَ عَنْهُ لِوَجْهَيْنِ : أَحَدهمَا أَنَّهُ رُبَّمَا اِسْتَحَى مِنْهُ إِنْسَان فَقَامَ لَهُ مِنْ مَجْلِسه مِنْ غَيْر طِيب قَلْبه , فَسَدَّ اِبْن عُمَر الْبَاب لِيَسْلَم مِنْ هَذَا . وَالثَّانِي أَنَّ الْإِيثَار بِالْقُرْبِ مَكْرُوه أَوْ خِلَاف الْأَوْلَى , فَكَانَ اِبْن عُمَر يَمْتَنِع مِنْ ذَلِكَ لِئَلَّا يَرْتَكِب أَحَد بِسَبَبِهِ مَكْرُوهًا , أَوْ خِلَاف الْأَوْلَى بِأَنْ يَتَأَخَّر عَنْ مَوْضِعه مِنْ الصَّفّ الْأَوَّل وَيُؤْثِرهُ بِهِ وَشِبْه ذَلِكَ . قَالَ أَصْحَابنَا : وَإِنَّمَا يُحْمَد الْإِيثَار بِحُظُوظِ النُّفُوس وَأُمُور الدُّنْيَا دُون الْقُرْب . وَاللَّه أَعْلَم .
“Larangan ini menunjukkan keharaman. Barangsiapa yang terlebih dahulu duduk di tempat yang mubah seperti duduk di masjid atau tempat lainnya, pada hari Jum’at atau di hari lainnya, untuk melaksanakan shalat atau untuk aktifitas lainnya; berarti ia lebih berhak menempati tempat tersebut dan haram bagi orang lain menyuruhnya bangkit dari tempat tersebut berdasarkan hadits ini. Hanya saja shahabat kami memberikan pengecualian : Apabila seseorang terbiasa memberikan fatwa, membaca Al-Qur’an atau ilmu syari’at lainnya, dan jika ia datang, maka tidak boleh seorang pun yang duduk di tempatnya. Di antara makna yang dimaksud dalam hadits, yaitu seseorang yang terlebih dahulu menempati suatu tempat di jalan atau tempat berjualan di pasar. Adapun riwayat : Adalah Ibnu ‘Umar jika ada seseorang yang berdiri untuknya dari tempat duduknya, maka ia tidak mau duduk di tempat itu ; maka ini merupakan sikap wara’-nya. Bukan berarti jika orang itu bangkit dengan senang hati lantas tempat itu tetap haram untuk diduduki. Sikap wara’ Ibnu ‘Umar itu disebabkan dua hal :
a. Boleh jadi orang tersebut sungkan kepada Ibnu ‘Umar lalu ia bangkit berdiri dengan perasaan tidak enak.
b. Mengutamakan orang lain dalam perkara mendekatkan diri kepada Allah, hukumnya makruh. Oleh karena itu Ibnu ‘Umar tidak menduduki tempat tersebut agar orang yang mempersilakan duduk di tempat tersebut tidak melakukan perkara yang makruh, yaitu mundur dari shaff pertama karena mempersilakan Ibnu ‘Umar.
Shahabat kami berkata : ‘Mengutamakan orang lain adalah tindakan yang terpuji dalam urusan dunia, bukan dalam urusan ibadah. Wallaahu a’lam” [selesai perkataan An-Nawawiy – lihat Syarh Shahih Muslim 14/160-161, Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah Al-Azhar, Cet. Thn. 1347].
Dan jika ada seseorang yang duduk, lalu ia bangkit dan kemudian ia kembali lagi ke tempat duduknya, maka ia tetap sebagai orang yang paling berhak duduk di tempatnya semula.
عن أبي هريرة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "إذا قام أحدكم من مجلسه ثم رجع إليه، فهو أحق به".
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia kembali lagi, maka ia lebih berhak terhadap tempat tersebut” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2179].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[Disadur dari tulisan Ibrahim bin Fat-hi bin ‘Abdil-Muqtadir dengan sedikit perubahan dan penambahan oleh Abu Al-Jauzaa’ – 10 Syawwal 1430 H, perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor].

Thursday, February 19, 2015

Pembahasan : Minum Sambil Berdiri (Perlu Anda Ketahui)

Dalil yang Melarang
عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم؛ أنه نهى أن يشرب الرجل قائما. قال قتادة: فقلنا: فالأكل؟ فقال: ذاك أشر أو أخبث.
Dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri. Qatadah berkata : “Kami bertanya : ‘Bagaimana dengan makan (sambil berdiri) ?”. Beliau menjawab : “Hal itu lebih buruk dan menjijikkan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2024, At-Tirmidzi no. 1879, Ibnu Maajah no. 3424, Abu Ya’la no. 3195, Abu ‘Awaanah no. 8186, dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/272].

عن أبي سعيد الخدري؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم زجر عن الشرب قائما.
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencela minum sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2025, Ahmad 3/32 & 54, Abu Ya’la no. 988 & 1321, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/272 & Syarh Musykilil-Aatsaar no. 2098, Al-Baihaqiy 7/282, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3045].

عن الجارود بن المعلى : أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الشرب قائما
Dari Al-Jaarud bin Ma’laa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 1881, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/272 & Syarh Musykilil-Aatsaar 5/342-343, Ibnu Qaani’ dalam Mu’jamush-Shahaabah 1/154, Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 2/299-300, Ibnu Syaahiin dalam An-Naasikh wal-Mansukh hal. 429 no. 567, dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 1646; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/331-332].
عن أبي هريرة يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لا يشربن أحد منكم قائما. فمن نسي فليستقي).

Dari Abu Hurairah ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Barangsiapa yang lupa, hendaklah ia muntahkan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2026 dan Al-Baihaqiy 7/282].

Dalil yang Membolehkan
عن النَّزَّال قال : أتي علي رضي الله عنه على باب الرَّحبة بماء فشرب قائماً، فقال: إن ناساً يكره أحدهم أن يشرب وهو قائم، وإني رأيت النبي صلى الله عليه وسلم فعل كما رأيتموني فعلت
Dari An-Nazzaal ia berkata : ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu membawa air ke pintu masjid kemudian meminumnya sambil berdiri. Kemudian ia bekata : “Sebagian orang tidak suka minum sambil berdiri, padahal aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya sebagaimana engkau melihatku melakukannya barusan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5615-5616, Ath-Thayalisi no. 141, Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thahuur hal. 131 no. 39, Ahmad 1/78 & 101 & 102, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Zawaaidul-Musnad 1/109 no. 1366 & 1372, Abu Dawud no. 3718, At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail no. 200, An-Nasa’iy no. 130, Ibnu Khuzaimah no. 16 & 202, dan Ibnu Hibbaan no. 1057].
عن ابن عباس قال : شرب النبي صلى الله عليه وسلم قائماً من زمزم.
Dari Ibnu ‘Abbas ia bekata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah minum air zamzam sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1637 & 5617, Muslim no. 2027, Al-Humaidiy no. 481, Ibnu Abi Syaibah no. 24460, Ahmad 1/214 & 220 & 243, At-Tirmidziy dalam Al-Jaami’ no. 1882 dan Asy-Syamaail no. 197 & 199, Ibnu Maajah no. 3422, An-Nasa’iy no. 2964-2965, Ibnu Khuzaimah no. 2945, serta Ibnu Hibban no. 3838 & 5319].
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم في السفر ويفطر ورأيته يشرب قائما وقاعدا ورأيته يصلي حافيا ومنتعلا ورأيته ينصرف عن يمينه وعن يساره
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan berbuka ketika safar, minum sambil berdiri dan duduk, shalat dengan telanjang kaki dan memakai sandal, serta berpaling dari arah kanan dan kirinya (setelah selesai shalat)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/206, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/480, At-Tirmidziy dalam Al-Jaami’ no. 1883 dan Asy-Syamaail no. 198, Al-Firyaaniy dalam Ash-Shiyaam no. 119, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 5/181, serta Ibnu Syaahiin dalam An-Naasikh wal-Mansukh no. 570; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/332-333 dan Ahmad Syaakir dalam Syarh ‘alal-Musnad 6/399].
عن بن عمر قال : كنا نأكل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نمشي ونشرب ونحن قيام
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : “Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 1880, Ibnu Maajah no. 3301, Ibnu Hibbaan no. 5322 & 5325, Al-Khathiib dalam At-Taariikh 8/195, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/273, dan Ibnu Syaahiin dalam An-Naaiikh wal-Mansukh no. 573; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/331 dan Al-Arna’uth dalam Takhrij ‘ala Shahih Ibni Hibban 12/141].
عن كبشة قالت : دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم فشرب من في قربة معلقة قائما فقمت إلى فيها فقطعته
Dari Kabsyah ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku, kemudian beliau minum dari mulut bejana (dari kulit) yang tergantung sambil berdiri. Lantas aku berdiri ke bejana tersebut dan memotong talinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Al-Jaami’ no. 1892 dan Asy-Syamaail no. 203, Al-Humaidiy no. 354, Ahmad 6/434, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadu wal-Matsaaniy no. 3365, Ibnu Hibbaan no. 5318, Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 10/25 dan Musnad Asy-Syaamiyyiin no. 639, serta Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman no. 5624 dan Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar 10/266; dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/335 dan Al-Arna’uth dalam Takhrij ‘alaa Shahih Ibni Hibban 12/138-139].
عن عائشة : ان النبي صلى الله عليه وسلم دخل على امرأة من الأنصار وفي البيت قربة معلقة فاختنثها وشرب وهو قائم
Dari ‘Aisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah seorang wanita Anshar yang di dalamnya ada bejana (kulit) yang tergantung. Beliau membelokkan mulut bejana itu dan meminumnya dalam keadaan berdiri” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/161; dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij ‘alal-Musnad 42/165-166].
عن عبد الله بن الزبير عن أبيه أنه كان يشرب قائما
Dari ‘Abdullah bin Az-Zubair : “Bahwasannya ia pernah minum sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh Maalik no. 1845; shahih].
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم : وسُئل أبو زرعة عن حديثٍ رواه أبو نُعَيم والقعنبي وعبد العزيز الأُوَيسي. فروى أبو نعيم والقعنبي عن عبد الله بن عمر العُمري، عن أبيه عن عبد الرحمن بن رافع عن أنه رأى عمر بن الخطاب يشرب قائما. وروى عبد العزيز الأُويسي عن عبد الله العُمري عن أبيه عن عبد الرحمن بن رافع أنه رأى عمر شرن قائما؛ أسقط والد عبد الرحمن ابن رافع ؟ فقال أبو زرعة : هذا خطأ؛ إنما هو عبد الرحمن بن رافع عن أبيه عن عمر.
Telah berkata ‘Abdurrahman bin Abi Haatim : Abu Zur’ah pernah ditanya mengenai sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim , Al-Qa’nabiy dan ‘Abdul-‘Aziiz Al-Uwaisiy. Abu Nu’aim dan Al-Qa’nabiy meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar Al-‘Umariy, dari ayahnya, dari ‘Abdurrahman bin Raafi’, dari (….), bahwasannya ia melihat ‘Umar bin Al-Khaththaab minum sambil berdiri. Adapun ‘Abdul-‘Aziiz Al-Uwaisiy meriwayatkan dari ‘Abdullah Al-‘Umariy, dari ayahnya, dari ‘Abdurrahman bin Raafi’ bahwasannya melihat ‘Umar minum sambil berdiri. Apakah ayah ‘Abdurrahman bin Raafi’ gugur (dalam sanad ini) ?. Maka Abu Zur’ah menjawab : “Ini keliru. Sanad tersebut hanyalah berasal dari ‘Abdurrahman bin Raafi’, dari ayahnya, dari ‘Umar [‘Ilal no. 1589].[1]
Selain dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, minum sambil berdiri juga dilakukan oleh beberapa shahabat diantaranya ‘Umar bin Al-Khaththaab, ‘Ali bin Abi Thaalib, ‘Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhum.
Pembahasan
Dalam menyikapi beberapa hadits di atas yang (kelihatan) saling bertentangan, para ulama terkelompok dalam 3 metode :
1. Tarjih.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan.
a. Mengunggulkankan hadits pelarangan daripada pembolehan sebagai langkah hati-hati sebagaimana pengamalan terhadap sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
دَعْ ما يريبُكَ إلى ما لاَ يرِيبُكَ
“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy 8/327, At-Tirmidzi no. 2518, Ahmad 1/200, Ibnu Hibbaan no. 722, dan Al-Haakim 2/13; shahih].
Selain itu, hadits-hadits pelarangan datang melalui ucapan beliau, sedangkan hadits-hadts pembolehan datang melalui perbuatan beliau. Dalam hal ini, perkataan lebih didahulukan daripada perbuatan, karena ada kemungkinan bahwa perbuatan beliau minum sambil berdiri merupakan kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja, bukan untuk yang lainnya.
b. Mengunggulkan hadits pembolehan daripada pelarangan karena dianggap lebih kuat, lebih shahih, dan lebih banyak jumlahnya. Abu Bakr Al-Atsram[2] dalam salah satu perkataannya mengungkapkan pendapat ini. Ini juga salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal dan yang masyhur dalam madzhabnya[3], serta jumhur Malikiyyah[4].
Pembolehan minum sambil berdiri secara mutlak merupakan pendapat jumhur tabi’in seperti : Sa’iid bin Jubair[5], Thaawus[6], Zaadzaan Abu ‘Umar Al-Kindiy[7], dan Ibrahim bin Yaziid An-Nakha’iy[8].
2. Nasakh.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan :
a. Hadits-hadits larangan telah mansukh oleh hadits-hadits pembolehan, dengan bukti yang dilakukan oleh Khulafaaur-Raasyidiin, sebagian besar shahabat, dan tabi’in yang membolehkannya. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Atsram[9] dan Ibnu Syaahin[10]. Al-Qurthubi[11] juga menguatkan pendapat ini dan menisbatkannya kepada jumhur shahabat dan ulama setelahnya.
b. Hadits-hadits pembolehan telah mansukh oleh hadits-hadits pelarangan, dengan dasar bahwa pembolehan adalah hukum asal, sedangkan pelarangan adalah hukum yang datang kemudian sebagai satu ketetapan syar’iy. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Hazm[12].
3. Al-Jam’u wat-Taufiiq (Kompromi).
Pada metode ini, ada banyak perkataan dan penafsiran dari para ulama. Akan disebutkan beberapa diantaranya yang utama :
Ada yang mengatakan bahwa bolehnya minum sambil berdiri hanya jika ada hajat/keperluan; selain dari itu, maka dibenci. Ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyyah[13] dan Ibnul-Qayyim[14] rahimahumallah. Ibnu ‘Utsaimin termasuk yang bersepakat dengan mereka berdua.[15] Ibnu Taimiyyah berkata :
وأما الشرب قائما : فقد جاء أحاديث صحيحة بالنهي، وأحاديث صحيحة بالرخصة، ولهذا تنازع العلماء فيه، وذُكِرَ فيه روايتان عن أحمد. ولكن الجمع بين الأحاديث : أن تحمل الرخصة على حال العذر...
“Adapun minum sambil berdiri, telah ada hadits-hadits shahih yang melarangnya dan hadits-hadits shahih yang memberikan rukhshah (kebolehan). Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Disebutkan padanya ada dua riwayat yang ternukil dari Ahmad mengenai permasalahan ini. Namun metode pengkompromian diantara hadits-hadits ini adalah : Membawa hadits-hadits yang membolehkan jika ada udzur…” [selesai].
Ada yang memahami bahwa pelarangan minum sambil berdiri bukanlah pelarangan yang bermakna tahriim (pengharaman). Pelarangan tersebut bukan pelarangan yang bersifat syar’iy, namun dengan pelarangan atas pertimbangan kedokteran (thibbiy) yang akan menimbulkan bahaya/mudlarat. Disebutkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/73. Ath-Thahawiy juga menyebutkan hal semakna dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/274 & 276 dan Syarh Musykilil-Aatsaar 5/347.
Ada yang mengatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri ini khusus ketika minum air zamzam dan kelebihan/sisa air wudlu. Ini merupakan pendapat ‘Ali Al-Qaariy[16] dan sebagian ulama Hanafiyyah lainnya[17].
Ada yang mengatakan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini adalah jika lupa saja sebagaimana dikatakan oleh Abul-Faraj Ats-Tsaqafiy[18].
Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai pelarangan itu hanyalah makruh tanziih saja, sedangkan perbuatan beliau (yang minum sambil berdiri) menjelaskan tentang kebolehannya. Hadits-hadits pelarangan dibawa kepada makna disukainya minum sambil duduk, serta dorongan kepada amal-amal yang lebih utama lagi sempurna. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya adalah : Al-‘Ainiy[19] dari kalangan Hanafiyyah, Al-Maaziriy[20] dari kalangan Maalikiyyah, dan Ibnu Jariir Ath-Thabariy[21]. Jumhur ulama Syafi’iyyah[22] juga menyepakati pendapat ini, diantaranya adalah : Al-Khaththaabiy[23], Al-Baghawiy[24], An-Nawawiy[25], dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy[26].
Mana yang terpilih dan terkuat dari pendapat-pendapat tersebut ?
Tidak ragu lagi bahwasannya pendapat yang terpilih dan paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang menempuh metode al-jam’u wat-tafiiq (kompromi) dengan menggunakan semua dalil (tanpa meninggalkan salah satu di antaranya), dimana mereka mengatakan : Pelarangan minum sambil berdiri hanya bermakna makruh tanziih saja. An-Nawawi telah memberikan penjelasan yang sangat baik :
لَيْسَ فِي هَذِهِ الأَحَادِيث بِحَمْدِ اللَّه تَعَالَى إِشْكَال , وَلا فِيهَا ضَعْف , بَلْ كُلّهَا صَحِيحَة , وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ , فَلا إِشْكَال وَلا تَعَارُض , وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يَتَعَيَّن الْمَصِير إِلَيْهِ .
فَإِنْ قِيلَ : كَيْف يَكُون الشُّرْب قَائِمًا مَكْرُوهًا وَقَدْ فَعَلَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟
فَالْجَوَاب : أَنَّ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بَيَانًا لِلْجَوَازِ لا يَكُون مَكْرُوهًا , بَلْ الْبَيَان وَاجِب عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَكَيْف يَكُون مَكْرُوهًا وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّة مَرَّة وَطَافَ عَلَى بَعِير مَعَ أَنَّ الإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْوُضُوء ثَلاثًا وَالطَّوَاف مَاشِيًا أَكْمَل , وَنَظَائِر هَذَا غَيْر مُنْحَصِرَة , فَكَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَبِّه عَلَى جَوَاز الشَّيْء مَرَّة أَوْ مَرَّات , وَيُوَاظِب عَلَى الأَفْضَل مِنْهُ, وَهَكَذَا كَانَ أَكْثَر وُضُوئِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاث ثَلاثًا , وَأَكْثَر طَوَافه مَاشِيًا , وَأَكْثَر شُرْبه جَالِسًا ، وَهَذَا وَاضِح لا يَتَشَكَّك فِيهِ مَنْ لَهُ أَدْنَى نِسْبَة إِلَى عِلْم . وَاللَّهُ أَعْلَم"
“Tidak ada kontradiksi dalam hadits-hadits ini, segala puji bagi Allah ta’ala. Tidak ada pula kelemahan padanya, bahkan semua hadits-hadits tersebut adalah shahih. Dan yang benar di dalamnya adalah : Larangan dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanziih. Adapun minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada pertentangan. Inilah yang perlu dikatakan dalam persoalan ini.
Apabila dikatakan : “Bagaimana minum sambil berdiri bisa dikatakan makruh dengan kenyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya ?”.
Jawabannya adalah : Perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang kebolehannya, bukan kemakruhannya. Bahkan menjelaskan tentang segala hal tersebut adalah wajib bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana bisa dikatakan makruh ? Telah shahih dari beliau bahwa beliau pernah wudlu sekali-sekali (dalam basuhan anggota badan) dan thawaf di atas onta yang bersamaan itu para ulama telah bersepakat bahwa wudlu tiga kali-tiga kali (dalam basuhan) dan thawaf dengan berjalan kaki lebih sempurna (lebih baik). Ada banyak contoh serupa dalam hal ini. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kebolehan membasuh sekali atau berkali-kali, namun di sisi lain beliau tetap mengerjakan yang utama. Dan memang seperti itulah kebiasaan (= yang sering dilakukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika wudlu dengan membasuh sebanyak tiga kali-tiga kali, berjalan kaki ketika thawaf, dan duduk ketika minum. Perkara ini sangat jelas tanpa ada permasalahan meskipun bagi orang yang rendah nisbatnya kepada ilmu. Wallaahu a’lam [Syarh Shahih Muslim, 13/195].
Tidak bisa dikatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri itu hanya dikhususkan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini terjawab oleh perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
كنا نأكل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نمشي ونشرب ونحن قيام
“Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [telah berlalu takhrij-nya].
Walaupun teks redaksinya adalah mauquf, namun ia dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Para shahabat melakukannya ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Dan itu senantiasa mereka lakukan setelah beliau wafat.
Hadits ini juga menjawab sebagian besar pendapat-pendapat yang keliru di atas.
Adapun anggapan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini jika hanya ada hajat, maka itu terjawab oleh hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dimana ia mengingkari ketidaksukaan sebagian orang minum sambil berdiri. Banyak nukilan shahabat dan tabi’in dimana mereka minum sambil berdiri tanpa ada hajat. Oleh karena itu, kebolehan ini adalah bersifat umum (dalam segala keadaan).
Metode tarjih dan klaim adanya nasakh juga harus ditinggalkan selama metode kompromi bisa dilakukan.
Al-Lajnah Ad-Daaimah memberikan fatwa sebagai berikut :
الأصل أن يشرب الإنسان قاعداً ، وهو الأفضل ، وله أن يشرب قائماً ، وقد فعل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأمرين للدلالة على أن الأمر في ذلك واسع
“Pada asalnya, seseorang hendaknya duduk jika ia minum. Perbuatan ini afdlal (lebih utama). Namun, boleh juga jika ia minum sambil berdiri. Sungguh, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua perkara tersebut untuk menunjukkan bahwa kesemua perkara itu luas (boleh dilakukan kedua-duanya)” [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 22/133].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
الأحاديث الواردة في هذا صحيحة جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم النهي عن الشرب قائما والأكل مثل ذلك، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه شرب قائما، فالأمر في هذا واسع وكلها صحيحة والحمد لله، فالنهي عن ذلك للكراهة، فإذا احتاج الإنسان إلى الأكل واقفا أو إلى الشرب واقفا فلا حرج، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه شرب قاعدا وقائما، فإذا احتاج الإنسان إلى ذلك فلا حرج أن يأكل قائما وأن يشرب قائما، وإن جلس فهو أفضل وأحسن.....
“Hadits-hadits tersebut adalah shahih dimana telah ada riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan minum dan makan sambil berdiri. Selain itu, terdapat pula riwayat dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau minum sambil berdiri. Oleh karena itu, perkara dalam hal ini adalah luas yang kesemuanya adalah benar, Alhamdulillah. Pelarangan atas hal tersebut bermakna makruh (bukan haram). Apabila seseorang ingin makan atau minum sambil berdiri, maka tidak ada celaan. Sungguh telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau minum sambil duduk ataupun berdiri. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang ingin melakukan hal itu, maka tidak ada celaan untuk makan atau minum sambil berdiri. Namun jika ia duduk, maka lebih utama (afdlal) dan lebih baik (ahsan)……” [Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Ibni Baaz, 25/276].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[Abu Al-Jauzaa’ – menjelang sahur di satu malam bulan Ramadlan 1430 H].
[1] Mengenai perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, Ibnu Hajar juga mengatakan dalam kitabnya :
وثبت الشرب قائما عن عمر، أخرجه الطبري
“Telah tetap riwayat mengenai minum sambil berdiri dari ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ath-Thabariy” [Fathul-Baariy, 10/84].
[2] Lihat Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhihi, hal 228-230.
[3] Lihat Al-Aadaabusy-Syar’iyyah 3/174 dan Al-Furuu’ 5/302 – keduanya - oleh Ibnu Muflih, Al-Inshaaf oleh Al-Mardawiy 8/330, Kasysyaaful-Qinaa’ min Matnil-Iqnaa’ 5/177 dan Syarhul-Muntahaa 3/38 – keduanya – oleh Manshuur Al-Bahutiy, serta Ghidzaa’ul-Albaab oleh Muhammad As-Safaariiniy 2/141.
[4] Lihat Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’ oleh Al-Baajiy 7/237, ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/72-73, Syarh Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72, Al-Mufhim oleh Al-Qurthubiy 5/285-286, Haasyiyyah Al-‘Adawiy 2/609, Fawaakihud-Dawaaniy oleh Ahmad bin Ghaniim An-Nafraawiy 2/319.
[5] Sebagaimana dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah no. 24474 & 24478.
[6] Idem, no. 24474.
[7] Idem, no. 24471.
[8] Idem, no. 24469 & 24484 dan Syarh Ma’aanil-Aatsaar oleh Ath-Thahawiy 4/274 & 276.
[9] Lihat Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhihi, hal 230.
[10] Idem, hal. 433-434.
[11] Lihat Al-Mufhim 5/285.
[12] Lihat Al-Muhallaa 7/519-520, Hajjatul-Wadaa’ hal. 320, dan Ihkaamul-Ahkaam 2/167.
[13] Al-Fataawaa 32/209-210 & 211.
[14] Zaadul-Ma’aad 1/149, 2/278, 4/228 dan Tahdziibus-Sunan 5/281-282.
[15] Syarh Riyaaldush-Shaalihiin - باب كراهة الشرب من فم القربة ونحوها وبيان أنه كراهة تنزيه لا تحريم - http://www.islamspirit.com.
[16] Mirqaatul-Mafaatih 8/165-166.
[17] Lihat Al-Fataawaa Al-Hindiyyah 1/8 & 5/341, Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin 1/129-130, Tabyiinul-Haqaaiq 1/7, Al-Bahrur-Raaiq 1/30, Ad-Durrul-Mukhtaar 1/129, Bada’iush-Shanaai’ 1/23, Haasyiyyah Ath-Thahthaawiy ‘alaa Maraaqil-Falaah 1/51, Syarh Fathil-Qadiir 1/36, Nuurul-Iidlaah 1/19, dan Majma’ul-Anhar 1/30.
[18] Sebagaimana dalam Fathul-Baariy 10/84. Dinukil pula oleh Al-‘Ainiy dalam ‘Umdatul-Qaariy 21/193 dari Ibnut-Tiin dan semisalnya.
[19] ‘Umdatul-Qaariy 21/193.
[20] Al-Mu’lim 3/68.
[21] Sebagaimana dalam Syarh Shahiih Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72.
[22] Lihat Al-Bahjatul-Wardiyyah dan penjelasanya : Al-Ghararul-Bahiyyah oleh Zakariyya Al-Anshariy 4/214, Tuhfatul-Muhtaj oleh Ibnu Hajar Al-Haitamiy 7/438, Raudlatuth-Thaalib dan penjelasannya : Asnal-Mathaalib oleh As-Suyuthiy 3/228, Mughnil-Muhtaj oleh Al-Khathiib Muhammad Asy-Syarbiniy 4/412, dan Haasyiyyah Al-Jamal oleh Sulaiman bin Manshuur Al-Jamal 1/36 & 4/278.
[23] Ma’aalimus-Sunan 5/281-282.
[24] Syarhus-Sunnah 11/381.
[25] Syarh Shahih Muslim 13/195.
[26] Fathul-Baariy 10/84.
di 08:32

Tuesday, February 17, 2015

Berilah Nasehat hanya kepada yang Menginginkan

Di antara hal yang sebaiknya diperhatikan oleh pemberi nasihat adalah hendaknya ia menjaga kehormatan dirinya, tidak mengerahkan segala ilmunya, dan tidak memberikan (nasihat) kepada mereka yang tidak mampu menerimanya atau tidak menginginkannya.

Adapun hikmah di balik hal tersebut adalah agar ia tidak memberikan nasihatnya kecuali pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang baik untuk memberikan nasihat padanya. Adapun bila kondisi dan situasinya tidak sesuai atau para pendengarnya menyingkir darinya dan tidak menginginkan pembicaraannya, maka seyogyanya ia tidak memberikan nasihatnya. Contohnya, para pendengar sedang dalam walimah pernikahan dimana saat itu mereka sedang tenggelam dalam percakapan serius dan saling memberikan salam (kepada para tamu).
Namun, apabila kondisi tempatnya memungkinkan dan para pendengarnya telah siap mendengarkan nasihatnya, maka bolehlah ia memberikannya walaupun ada sebagian dari mereka yang disibukkan dengan hal-hal lain.
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dariIkrimah, dari IbnuAbbas radliyallaahuanhuma bahwasannya ia berkata :
وَلَا أُلْفِيَنَّكَ تَأْتِي الْقَوْمَ وَهُمْ فِيْ حَدِيْثٍ مِنْ حَدِيْثِهِمْ، فَتَقُصُّ عَلَيْهِمْ، فَتَقْطَعُ عَلَيْهِمْ حَدِيْثَهُمْ فَتُمِلُّهُمْ، وَلَكِنْ أَنْصِتْ، فَإِذَا أَمَرُوْكَ فَحَدِّثْهُمْ وَهُمْ يَشْتَهُوْنَهُ
Janganlah aku mendapatkan kamu mendatangi suatu kaum sedang mereka dalam pembicaraannya, lalu kamu memberikan kisahmu pada mereka dan memotong pembicaraan mereka dengannya, maka kamu telah membuat mereka bosan. Tapi, duduk dan diamlah. Apabila mereka memintamu untuk berbicara, maka berbicaralah kepada mereka sedang mereka mendengarkannya”.[1]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam penjelasannya terhadap perkataan IbnuAbbas radliyallaahuanhuma tersebut :

وفيه كراهة التحديث عند من لا يقبل عليه؛ والنهي عن قطع حديث غيره، وأنه لا ينبغي نشر العلم عند من لا يحرص عليه ويحدث من يشتهي بسماعه لأنه أجدر أن ينتفع به
Bahwasannya makruh bercakap-cakap dengan siapa yang kurang respon terhadap percakapan kita dan larangan memotong pembicaraan orang lain. Sesungguhnya tidak seharusnya menyebarkan ilmu kepada orang yang tidak menginginkannya. Namun sebaiknya hanya bercakap-cakap dengan siapa yang ingin mendengarkannya, karena hal tersebut lebih pantas dan lebih memberikan manfaat”.[2]
Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah telah membuat suatu bab dalam kitabnya, Al-Jaami’, dengan judul bab كراهة التحديث لمن لا يبتغيه وان من ضياعه بذله لغير اهليه - Karaahatut-Tahdiits liman Laa Yabtaghiihi wa Anna Dlayaa’ahu Badzlahu lighairihi Ahlihi (Tidak Disukai Berbicara kepada Orang yang Tidak Menginginkannya dan Bahwa yang Termasuk dari Menyia-Nyiakannya adalah Jika yang Berbicara Bukan Ahlinya), kemudian menyebutkan di dalamnya beberapa riwayat.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan dengan sanadnya sendiri dari Masruq bahwasannya ia berkata :

لا تنشر بزك الا عند من يبغيه قال عبدالله قال ابي يعني الحديث
Janganlah kamu menyebarkan kelebihanmu kecuali kepada orang yang menginginkannya”.
‘Abdullah berkata : Telah berkata bapakku (Al-Imam Ahmad rahimahullah) : “Yaitu al-hadiits”.[3]
Lalu ia meriwayatkan dengan sanadnya sendiri dari Mutharrif rahimahullah bahwasannya ia berkata :

لا تطعم طعامك من لا يشتهيه أي لا تحدث بالحديث من لا يريده
Janganlah kamu memberikan makanan kepada orang yang tidak menginginkannya, yaitu janganlah kamu bercakap-cakap dengan suatu obrolan dengan orang lain yang tidak menginginkannya”.[4]
Telah diriwayatkan dari Al-Mughiirah rahimahullah bahwasannya ia berkata :

اني لاحتسب في منعي الحديث كما تحتسبون في بذله
Sesungguhnya aku telah merasa cukup puas dalam hal menahan percakapanku seperti halnya kalian merasa puas dengan mengeluarkannya”.[5]

Demikianlah, sehingga jelaslah bagi kita dari semua penjelasan dan riwayat yang telah lewat bahwasannya seorang da’i harus memiliki telinga yang peka dan mengerti apa yang diucapkan oleh mulutnya. Kalau tidak, maka pembicaraannya akan seperti kapas yang terbang kesana-kemari tidak ada artinya.

Maka, kedudukan ilmu dan nasihat akan dipandang remeh pada manusia apabila mereka melihat orang yang sering memberikannya dalam posisi yang dibenci, seperti berpalingnya manusia darinya atau umpatan mereka terhadapnya. Bahkan, sebagian mereka sudah berlebihan dengan berkata :

يَسْتَوْجِبُ الصَّفْعَ فِي الدُّنْيَا ثَمَانِيَةٌ
لَا لُوْمَ فِيْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ إِذَا صَفَعَا
“Yang berhak ditampar di dunia ada delapan,
tidak terhina orang yang menampar salah satu di antara mereka.
kemudian dikatakan :
وَمُتْحِفٌ بِحَدِيْثٍ غَيْرَ سَامِعِهِ
وَدَاخِلٌ فِيْ حَدِيْثٍ اثْنَيْنِ مُنْدَفِعًا
“Dan yang banyak berbicara tanpa pendengarnya
dan seorang yang ikut dalam pembicaraan dua orang yang sedang asyik”.[6]

Tidak termasuk dalam bahasan ini adalah seorang yang melihat orang lain dalam keadaan melakukan kemunkaran lalu ia ingin mengingkari mereka dengan sebuah nasihat yang ia ucapkan untuk mereka. Maka orang seperti ini tidak dicela apabila ia ingin merubah kemunkaran, khususnya jika dalam lingkup kebijaksanaan; dan ia tidak dikecam apabila mereka membenci nasihatnya dan mengingkarinya.

Kondisi seperti ini berbeda dengan kondisi sebelumnya, dimana itu adalah kondisi dengan maksud mengingkari, sedangkan yang sebelumnya adalah kondisi memberikan nasihat secara umum.
[Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd hafidhahullah].
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6337.
[2] Fathul-Baariy, 11/139.
[3] Al-Jaami’, no. 727.
[4] Al-Jaami, no. 731.
[5] Al-Jaami, no. 736.
[6] Ishlaahul-Mujtamaa’, hal. 360 oleh Baihani.
di 08:51