عن ابن عمر رضي الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا يقيم
الرجل الرجل من مجلسه ثم يجلس فيه).
Dari Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda
: “Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya,
kemudian ia duduk di tempat tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6269,
Muslim no. 2177, ‘Abdurrazzaq no. 5592 & 5594, ‘Abd bin Humaid no. 764, Ibnu
Hibbaan no. 587, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 1538, Al-Baihaqiy 3/232, dan
yang lainnya].
Adalah Ibnu ‘Umar
membenci menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian duduk di
tempatnya itu [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6270 dan Muslim no.
2177].
عن جابر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال "لا يقيمن أحدكم أخاه
يوم الجمعة. ثم ليخالف إلى مقعده فيقعد فيه. ولكن يقول: افسحوا".
Dari Jaabir, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah salah seorang
di antara kalian menyuruh saudaranya untuk berdiri (dari tempat duduknya) pada
hari Jum’at, lalu ia duduk di tempat duduknya itu. Akan tetapi hendaknya ia
berkata : ‘Berlapanglah” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
2178].
عن ابن عمر قال : جاء رجل إلى النبيِّ صلى اللّه عليه وسلم،
فقام له رجل من مجلسه، فذهب ليجلس فيه، فنهاه النبيُّ صلى اللّه عليه
وسلم.
Dari Ibnu ‘Umar ia
berkata : “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian ada seseorang berdiri dari tempat duduknya untuknya. Ketika laki-laki
itu ingin duduk di tempat tersebut, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melarangnya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4828; shahih – lihat Shahih Sunan
Abi Dawud 3/186].
Mengomentari hadits
di atas, Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah berkata :
وهكذا يكره ان يجلس في موضع وان قام له عن مجلسه
باختياره
“Begitulah,
dimakruhkan duduk di tempat itu meskipun orang tersebut berdiri untuknya dengan
kemauannya sendiri” [Al-Jami’ li-Akhlaaqir-Raawiy wa Aadaabis-Saami’ no. 263,
tahqiq : Dr. Mahmuud Ath-Thahhaan; Maktabah Al-Ma’arif, Cet. Thn.
1403].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata :
هَذَا النَّهْي لِلتَّحْرِيمِ , فَمَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِع
مُبَاح فِي الْمَسْجِد وَغَيْره يَوْم الْجُمُعَة أَوْ غَيْره لِصَلَاةٍ أَوْ
غَيْرهَا فَهُوَ أَحَقّ بِهِ , وَيَحْرُم عَلَى غَيْره إِقَامَته لِهَذَا الْحَدِيث
, إِلَّا أَنَّ أَصْحَابنَا اِسْتَثْنَوْا مِنْهُ مَا إِذَا أَلِف مِنْ الْمَسْجِد
مَوْضِعًا يُفْتِي فِيهِ , أَوْ يَقْرَأ قُرْآنًا أَوْ غَيْره مِنْ الْعُلُوم
الشَّرْعِيَّة , فَهُوَ أَحَقّ بِهِ , وَإِذَا حَضَرَ لَمْ يَكُنْ لِغَيْرِهِ أَنْ
يَقْعُد فِيهِ . وَفِي مَعْنَاهُ مَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِع مِنْ الشَّوَارِع
وَمَقَاعِد الْأَسْوَاق لِمُعَامَلَةٍ . وَأَمَّا قَوْله : ( وَكَانَ اِبْن عُمَر
إِذَا قَامَ لَهُ رَجُل عَنْ مَجْلِسه لَمْ يَجْلِس فِيهِ ) فَهَذَا وَرَع مِنْهُ ,
وَلَيْسَ قُعُوده فِيهِ حَرَامًا إِذَا قَامَ بِرِضَاهُ , لَكِنَّهُ تَوَرَّعَ
عَنْهُ لِوَجْهَيْنِ : أَحَدهمَا أَنَّهُ رُبَّمَا اِسْتَحَى مِنْهُ إِنْسَان
فَقَامَ لَهُ مِنْ مَجْلِسه مِنْ غَيْر طِيب قَلْبه , فَسَدَّ اِبْن عُمَر الْبَاب
لِيَسْلَم مِنْ هَذَا . وَالثَّانِي أَنَّ الْإِيثَار بِالْقُرْبِ مَكْرُوه أَوْ
خِلَاف الْأَوْلَى , فَكَانَ اِبْن عُمَر يَمْتَنِع مِنْ ذَلِكَ لِئَلَّا يَرْتَكِب
أَحَد بِسَبَبِهِ مَكْرُوهًا , أَوْ خِلَاف الْأَوْلَى بِأَنْ يَتَأَخَّر عَنْ
مَوْضِعه مِنْ الصَّفّ الْأَوَّل وَيُؤْثِرهُ بِهِ وَشِبْه ذَلِكَ . قَالَ
أَصْحَابنَا : وَإِنَّمَا يُحْمَد الْإِيثَار بِحُظُوظِ النُّفُوس وَأُمُور
الدُّنْيَا دُون الْقُرْب . وَاللَّه أَعْلَم
.
“Larangan ini
menunjukkan keharaman. Barangsiapa yang terlebih dahulu duduk di tempat yang
mubah seperti duduk di masjid atau tempat lainnya, pada hari Jum’at atau di hari
lainnya, untuk melaksanakan shalat atau untuk aktifitas lainnya; berarti ia
lebih berhak menempati tempat tersebut dan haram bagi orang lain menyuruhnya
bangkit dari tempat tersebut berdasarkan hadits ini. Hanya saja shahabat kami
memberikan pengecualian : Apabila seseorang terbiasa memberikan fatwa, membaca
Al-Qur’an atau ilmu syari’at lainnya, dan jika ia datang, maka tidak boleh
seorang pun yang duduk di tempatnya. Di antara makna yang dimaksud dalam hadits,
yaitu seseorang yang terlebih dahulu menempati suatu tempat di jalan atau tempat
berjualan di pasar. Adapun riwayat : Adalah Ibnu ‘Umar jika ada seseorang yang
berdiri untuknya dari tempat duduknya, maka ia tidak mau duduk di tempat itu ;
maka ini merupakan sikap wara’-nya. Bukan berarti jika orang itu bangkit dengan
senang hati lantas tempat itu tetap haram untuk diduduki. Sikap wara’ Ibnu ‘Umar
itu disebabkan dua hal :
a. Boleh jadi orang tersebut sungkan kepada
Ibnu ‘Umar lalu ia bangkit berdiri dengan perasaan tidak
enak.
b. Mengutamakan orang lain dalam perkara
mendekatkan diri kepada Allah, hukumnya makruh. Oleh karena itu Ibnu ‘Umar tidak
menduduki tempat tersebut agar orang yang mempersilakan duduk di tempat tersebut
tidak melakukan perkara yang makruh, yaitu mundur dari shaff pertama karena
mempersilakan Ibnu ‘Umar.
Shahabat kami berkata
: ‘Mengutamakan orang lain adalah tindakan yang terpuji dalam urusan dunia,
bukan dalam urusan ibadah. Wallaahu a’lam” [selesai perkataan An-Nawawiy – lihat
Syarh Shahih Muslim 14/160-161, Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah Al-Azhar, Cet. Thn.
1347].
Dan jika ada
seseorang yang duduk, lalu ia bangkit dan kemudian ia kembali lagi ke tempat
duduknya, maka ia tetap sebagai orang yang paling berhak duduk di tempatnya
semula.
عن أبي هريرة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "إذا قام
أحدكم من مجلسه ثم رجع إليه، فهو أحق به".
Dari Abu Hurairah :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila
salah seorang di antara kalian berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia kembali
lagi, maka ia lebih berhak terhadap tempat tersebut” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 2179].
Wallaahu
a’lam.
Semoga ada
manfaatnya.
[Disadur dari tulisan
Ibrahim bin Fat-hi bin ‘Abdil-Muqtadir dengan sedikit perubahan dan penambahan
oleh Abu Al-Jauzaa’ – 10 Syawwal 1430 H, perumahan Ciomas Permai, Ciapus,
Ciomas, Bogor].