Saturday, February 21, 2015

Menyuruh Orang Lain Berdiri/Menyingkir dan Kemudian Ia Duduk di Tempat Orang Tersebut

عن ابن عمر رضي الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا يقيم الرجل الرجل من مجلسه ثم يجلس فيه).
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di tempat tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6269, Muslim no. 2177, ‘Abdurrazzaq no. 5592 & 5594, ‘Abd bin Humaid no. 764, Ibnu Hibbaan no. 587, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 1538, Al-Baihaqiy 3/232, dan yang lainnya].
Adalah Ibnu ‘Umar membenci menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian duduk di tempatnya itu [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6270 dan Muslim no. 2177].
عن جابر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال "لا يقيمن أحدكم أخاه يوم الجمعة. ثم ليخالف إلى مقعده فيقعد فيه. ولكن يقول: افسحوا".
Dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah salah seorang di antara kalian menyuruh saudaranya untuk berdiri (dari tempat duduknya) pada hari Jum’at, lalu ia duduk di tempat duduknya itu. Akan tetapi hendaknya ia berkata : ‘Berlapanglah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2178].
عن ابن عمر قال : جاء رجل إلى النبيِّ صلى اللّه عليه وسلم، فقام له رجل من مجلسه، فذهب ليجلس فيه، فنهاه النبيُّ صلى اللّه عليه وسلم.
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ada seseorang berdiri dari tempat duduknya untuknya. Ketika laki-laki itu ingin duduk di tempat tersebut, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4828; shahih – lihat Shahih Sunan Abi Dawud 3/186].
Mengomentari hadits di atas, Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah berkata :
وهكذا يكره ان يجلس في موضع وان قام له عن مجلسه باختياره
“Begitulah, dimakruhkan duduk di tempat itu meskipun orang tersebut berdiri untuknya dengan kemauannya sendiri” [Al-Jami’ li-Akhlaaqir-Raawiy wa Aadaabis-Saami’ no. 263, tahqiq : Dr. Mahmuud Ath-Thahhaan; Maktabah Al-Ma’arif, Cet. Thn. 1403].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
هَذَا النَّهْي لِلتَّحْرِيمِ , فَمَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِع مُبَاح فِي الْمَسْجِد وَغَيْره يَوْم الْجُمُعَة أَوْ غَيْره لِصَلَاةٍ أَوْ غَيْرهَا فَهُوَ أَحَقّ بِهِ , وَيَحْرُم عَلَى غَيْره إِقَامَته لِهَذَا الْحَدِيث , إِلَّا أَنَّ أَصْحَابنَا اِسْتَثْنَوْا مِنْهُ مَا إِذَا أَلِف مِنْ الْمَسْجِد مَوْضِعًا يُفْتِي فِيهِ , أَوْ يَقْرَأ قُرْآنًا أَوْ غَيْره مِنْ الْعُلُوم الشَّرْعِيَّة , فَهُوَ أَحَقّ بِهِ , وَإِذَا حَضَرَ لَمْ يَكُنْ لِغَيْرِهِ أَنْ يَقْعُد فِيهِ . وَفِي مَعْنَاهُ مَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِع مِنْ الشَّوَارِع وَمَقَاعِد الْأَسْوَاق لِمُعَامَلَةٍ . وَأَمَّا قَوْله : ( وَكَانَ اِبْن عُمَر إِذَا قَامَ لَهُ رَجُل عَنْ مَجْلِسه لَمْ يَجْلِس فِيهِ ) فَهَذَا وَرَع مِنْهُ , وَلَيْسَ قُعُوده فِيهِ حَرَامًا إِذَا قَامَ بِرِضَاهُ , لَكِنَّهُ تَوَرَّعَ عَنْهُ لِوَجْهَيْنِ : أَحَدهمَا أَنَّهُ رُبَّمَا اِسْتَحَى مِنْهُ إِنْسَان فَقَامَ لَهُ مِنْ مَجْلِسه مِنْ غَيْر طِيب قَلْبه , فَسَدَّ اِبْن عُمَر الْبَاب لِيَسْلَم مِنْ هَذَا . وَالثَّانِي أَنَّ الْإِيثَار بِالْقُرْبِ مَكْرُوه أَوْ خِلَاف الْأَوْلَى , فَكَانَ اِبْن عُمَر يَمْتَنِع مِنْ ذَلِكَ لِئَلَّا يَرْتَكِب أَحَد بِسَبَبِهِ مَكْرُوهًا , أَوْ خِلَاف الْأَوْلَى بِأَنْ يَتَأَخَّر عَنْ مَوْضِعه مِنْ الصَّفّ الْأَوَّل وَيُؤْثِرهُ بِهِ وَشِبْه ذَلِكَ . قَالَ أَصْحَابنَا : وَإِنَّمَا يُحْمَد الْإِيثَار بِحُظُوظِ النُّفُوس وَأُمُور الدُّنْيَا دُون الْقُرْب . وَاللَّه أَعْلَم .
“Larangan ini menunjukkan keharaman. Barangsiapa yang terlebih dahulu duduk di tempat yang mubah seperti duduk di masjid atau tempat lainnya, pada hari Jum’at atau di hari lainnya, untuk melaksanakan shalat atau untuk aktifitas lainnya; berarti ia lebih berhak menempati tempat tersebut dan haram bagi orang lain menyuruhnya bangkit dari tempat tersebut berdasarkan hadits ini. Hanya saja shahabat kami memberikan pengecualian : Apabila seseorang terbiasa memberikan fatwa, membaca Al-Qur’an atau ilmu syari’at lainnya, dan jika ia datang, maka tidak boleh seorang pun yang duduk di tempatnya. Di antara makna yang dimaksud dalam hadits, yaitu seseorang yang terlebih dahulu menempati suatu tempat di jalan atau tempat berjualan di pasar. Adapun riwayat : Adalah Ibnu ‘Umar jika ada seseorang yang berdiri untuknya dari tempat duduknya, maka ia tidak mau duduk di tempat itu ; maka ini merupakan sikap wara’-nya. Bukan berarti jika orang itu bangkit dengan senang hati lantas tempat itu tetap haram untuk diduduki. Sikap wara’ Ibnu ‘Umar itu disebabkan dua hal :
a. Boleh jadi orang tersebut sungkan kepada Ibnu ‘Umar lalu ia bangkit berdiri dengan perasaan tidak enak.
b. Mengutamakan orang lain dalam perkara mendekatkan diri kepada Allah, hukumnya makruh. Oleh karena itu Ibnu ‘Umar tidak menduduki tempat tersebut agar orang yang mempersilakan duduk di tempat tersebut tidak melakukan perkara yang makruh, yaitu mundur dari shaff pertama karena mempersilakan Ibnu ‘Umar.
Shahabat kami berkata : ‘Mengutamakan orang lain adalah tindakan yang terpuji dalam urusan dunia, bukan dalam urusan ibadah. Wallaahu a’lam” [selesai perkataan An-Nawawiy – lihat Syarh Shahih Muslim 14/160-161, Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah Al-Azhar, Cet. Thn. 1347].
Dan jika ada seseorang yang duduk, lalu ia bangkit dan kemudian ia kembali lagi ke tempat duduknya, maka ia tetap sebagai orang yang paling berhak duduk di tempatnya semula.
عن أبي هريرة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "إذا قام أحدكم من مجلسه ثم رجع إليه، فهو أحق به".
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia kembali lagi, maka ia lebih berhak terhadap tempat tersebut” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2179].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[Disadur dari tulisan Ibrahim bin Fat-hi bin ‘Abdil-Muqtadir dengan sedikit perubahan dan penambahan oleh Abu Al-Jauzaa’ – 10 Syawwal 1430 H, perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor].